RSS Feed

Sabtu, 31 Maret 2012

Al Quranul Karim

Al-Qur’an yang secara harfiah berarti "bacaan
sempurna" merupakan suatu nama pilihan
Allah yang sungguh tepat, karena tiada satu
bacaan pun sejak manusia mengenal tulis baca
lima ribu tahun yang lalu yang dapat
menandingi Al-Quran Al-Karim, bacaan
sempurna lagi mulia itu.
Tiada bacaan semacam Al-Quran yang dibaca
oleh ratusan juta orang yang tidak mengerti
artinya dan/atau tidak dapat menulis dengan
aksaranya. Bahkan dihafal huruf demi huruf
oleh orang dewasa, remaja, dan anak-anak.
Tiada bacaan melebihi Al-Quran dalam
perhatian yang diperolehnya, bukan saja
sejarahnya secara umum, tetapi ayat demi
ayat, baik dari segi masa, musim, dan saat
turunnya, sampai kepada sebab-sebab serta
waktu-waktu turunnya.
Tiada bacaan seperti Al-Quran yang dipelajari
bukan hanya susunan redaksi dan pemilihan
kosakatanya, tetapi juga kandungannya yang
tersurat, tersirat bahkan sampai kepada kesan
yang ditimbulkannya. Semua dituangkan
dalam jutaan jilid buku, generasi demi
generasi. Kemudian apa yang dituangkan dari
sumber yang tak pernah kering itu, berbeda-
beda sesuai dengan perbedaan kemampuan
dan kecenderungan mereka, namun semua
mengandung kebenaran. Al-Quran layaknya
sebuah permata yang memancarkan cahaya
yang berbeda-beda sesuai dengan sudut
pandang masing-masing.
Tiada bacaan seperti Al-Quran yang diatur
tatacara membacanya, mana yang
dipendekkan, dipanjangkan, dipertebal atau
diperhalus ucapannya, di mana tempat yang
terlarang, atau boleh, atau harus memulai dan
berhenti, bahkan diatur lagu dan iramanya,
sampai kepada etika membacanya.
Tiada bacaan sebanyak kosakata Al-Quran
yang berjumlah 77.439 (tujuh puluh tujuh
ribu empat ratus tiga puluh sembilan) kata,
dengan jumlah huruf 323.015 (tiga ratus dua
puluh tiga ribu lima belas) huruf yang
seimbang jumlah kata-katanya, baik antara
kata dengan padanannya, maupun kata
dengan lawan kata dan dampaknya.
Sebagai contoh -sekali lagi sebagai contoh-
kata hayat terulang sebanyak antonimnya
maut, masing-masing 145 kali; akhirat terulang
115 kali sebanyak kata dunia; malaikat terulang
88 kali sebanyak kata setan; thuma'ninah
(ketenangan) terulang 13 kali sebanyak kata
dhiq (kecemasan); panas terulang 4 kali
sebanyak kata dingin.
Kata infaq terulang sebanyak kata yang
menunjuk dampaknya yaitu ridha (kepuasan)
masing-masing 73 kali; kikir sama dengan
akibatnya yaitu penyesalan masing-masing 12
kali; zakat sama dengan berkat yakni kebajikan
melimpah, masing-masing 32 kali. Masih amat
banyak keseimbangan lainnya, seperti kata
yawm (hari) terulang sebanyak 365, sejumlah
hari-hari dalam setahun, kata syahr (bulan)
terulang 12 kali juga sejumlah bulan-bulan
dalam setahun.
Demikian "Allah menurunkan kitab Al-Quran
dengan penuh kebenaran dan
keseimbangan” (QS Al-Syura [42]: 17).
Adakah suatu bacaan ciptaan makhluk seperti
itu? Al-Quran menantang:
"Katakanlah, Seandainya manusia dan jin
berkumpul untuk menyusun semacam Al-
Quran ini, mereka tidak akan berhasil
menyusun semacamnya walaupun mereka
bekerja sama" (QS Al-Isra,[17]: 88).
Orientalis H.A.R. Gibb pernah menulis bahwa:
"Tidak ada seorang pun dalam seribu lima
ratus tahun ini telah memainkan 'alat' bernada
nyaring yang demikian mampu dan berani,
dan demikian luas getaran jiwa yang
diakibatkannya, seperti yang dibaca
Muhammad (Al-Quran)." Demikian terpadu
dalam Al-Quran keindahan bahasa, ketelitian,
dan keseimbangannya, dengan kedalaman
makna, kekayaan dan kebenarannya, serta
kemudahan pemahaman dan kehebatan kesan
yang ditimbulkannya.
"Bacalah dengan (menyebut) nama Tuhanmu
yang menciptakan, Dia telah menciptakan
manusia dari 'alaq. Bacalah, dan Tuhanmulah
yang paling Pemurah, Yang mengajar
manusia dengan pena. Dia mengajarkan
kepada manusia apa yang belum
diketahuinya" (QS Al-'Alaq [96]: 1-5).
Mengapa iqra’, merupakan perintah pertama
yang ditujukan kepada Nabi, padahal beliau
seorang ummi (yang tidak pandai membaca
dan menulis)? Mengapa demikian?
Iqra' terambil dari akar kata yang berarti
"menghimpun," sehingga tidak selalu harus
diartikan "membaca teks tertulis dengan aksara
tertentu."
Dari "menghimpun" lahir aneka ragam makna,
seperti menyampaikan, menelaah, mendalami,
meneliti, mengetahui ciri sesuatu dan
membaca, baik teks tertulis maupun tidak.
Iqra' (Bacalah)! Tetapi apa yang harus dibaca?
"Ma aqra'?" tanya Nabi -dalam suatu riwayat-
setelah beliau kepayahan dirangkul dan
diperintah membaca oleh malaikat Jibril a.s.
Pertanyaan itu tidak dijawab, karena Allah
menghendaki agar beliau dan umatnya
membaca apa saja, selama bacaan tersebut
Bismi Rabbik; dalam arti bermanfaat untuk
kemanusiaan.
Iqra' berarti bacalah, telitilah, dalamilah,
ketahuilah ciri-ciri sesuatu, bacalah alam,
bacalah tanda-tanda zaman, sejarah, diri
sendiri, yang tertulis dan tidak tertulis. Alhasil
objek perintah iqra' mencakup segala sesuatu
yang dapat dijangkaunya.
Demikian terpadu dalam perintah ini segala
macam cara yang dapat ditempuh manusia
untuk meningkatkan kemampuannya.
Pengulangan perintah membaca dalam wahyu
pertama ini, bukan sekadar menunjukkan
bahwa kecakapan membaca tidak diperoleh
kecuali mengulang-ulangi bacaan, atau
membaca hendaknya dilakukan sampai
mencapai batas maksimal kemampuan, tetapi
juga untuk mengisyaratkan bahwa
mengulang-ulangi bacaan Bismi Rabbika (demi
karena Allah) akan menghasilkan pengetahuan
dan wawasan baru walaupun yang dibaca itu-
itu juga.
Mengulang-ulang membaca ayat Al-Quran
menimbulkan penafsiran baru,
pengembangan gagasan, dan menambah
kesucian jiwa serta kesejahteraan batin.
Berulang-ulang "membaca" alam raya,
membuka tabir rahasianya dan memperluas
wawasan serta menambah kesejahteraan
lahir. Ayat Al-Quran yang kita baca dewasa ini
tak sedikit pun berbeda dengan ayat Al-Quran
yang dibaca Rasul dan generasi terdahulu.
Alam raya pun demikian, namun
pemahaman, penemuan rahasianya, serta
limpahan kesejahteraan-Nya terus
berkembang, dan itulah pesan yang
dikandung dalam Iqra' wa Rabbuka l-akram
(Bacalah dan Tuhanmulah yang paling
Pemurah). Atas kemurahan-Nyalah
kesejahteraan demi kesejahteraan tercapai.
Sungguh, perintah membaca merupakan
sesuatu yang paling berharga yang pernah
dan dapat diberikan kepada umat manusia.
"Membaca" dalam aneka maknanya adalah
syarat pertama dan utama pengembangan
ilmu dan teknologi, serta syarat utama
membangun peradaban. Semua peradaban
yang berhasil bertahan lama, justru dimulai
dari satu kitab (bacaan). Peradaban Yunani di
mulai dengan Iliad karya Homer pada abad
ke-9 sebelum Masehi. Ia berakhir dengan
hadirnya Kitab Perjanjian Baru. Peradaban
Eropa dimulai dengan karya Newton
(1641-1727) dan berakhir dengan filsafat Hegel
(1770-1831). Peradaban Islam lahir dengan
kehadiran Al-Quran. Astaghfirullah menunjuk
masa akhirnya, karena kita yakin bahwa ia
tidak akan lekang oleh panas dan tidak lapuk
oleh hujan, selama umatnya ikut bersama
Allah memeliharanya
"Sesungguhnya Kami (Allah bersama Jibril
yang diperintah-Nya) menurunkan Al-Quran,
dan Kami (yakni Allah dengan keterlibatan
manusia) yang memeliharanya" (QS Al-Hijr
[15]: 9).
Pengetahuan dan peradaban yang dirancang
oleh Al-Quran adalah pengetahuan terpadu
yang melibatkan akal dan kalbu dalam
perolehannya. Wahyu pertama Al-Quran
menjelaskan dua cara perolehan dan
pengembangan ilmu. Berikut keterangannya.
Setiap pengetahuan memiliki subjek dan objek.
Secara umum subjek dituntut berperan guna
memahami objek. Namun pengalaman ilmiah
menunjukkan bahwa objek terkadang
memperkenalkan dirinya kepada subjek tanpa
usaha sang subjek. Komet Halley, memasuki
cakrawala, hanya sejenak setiap 76 tahun.
Dalam kasus ini, walaupun para astronom
menyiapkan diri dan alat-alatnya untuk
mengamati dan mengenalnya, tetapi
sesungguhnya yang lebih berperan adalah
kehadiran komet itu sendiri untuk
memperkenalkan diri.
Wahyu, ilham, intuisi, atau firasat yang
diperoleh manusia yang siap dan suci jiwanya
atau apa yang diduga sebagai "kebetulan"
yang dialami oleh ilmuwan yang tekun,
kesemuanya tidak lain kecuali bentuk-bentuk
pengajaran Allah yang dapat dianalogikan
dengan kasus komet di atas. Itulah pengajaran
tanpa qalam yang ditegaskan wahyu pertama
ini.
"Allah mengajar dengan pena (apa yang telah
diketahui manusia sebelumnya), dan mengajar
manusia (tanpa pena) apa yang belum ia
ketahui" (QS Al-'Alaq [96]: 4-5)
Sekali lagi terlihat betapa Al-Quran sejak dini
memadukan usaha dan pertolongan Allah, akal
dan kalbu, pikir dan zikir, iman dan ilmu. Akal
tanpa kalbu menjadikan manusia seperti robot,
pikir tanpa zikir menjadikan manusia seperti
setan. Iman tanpa ilmu sama dengan pelita di
tangan bayi, sedangkan ilmu tanpa iman
bagaikan pelita di tangan pencuri.
BERSAMBUNG...

by : http://my.opera.com/ziivii/blog/2011/05/11/al-quranul-karim-i

0 komentar:

Posting Komentar