RSS Feed

Sabtu, 28 April 2012

Pengajian KH. Anwar Zahid Bojonegoro 2010 (Qulhu Ae Lek)

Minggu, 15 April 2012

website pondok pesantren di Indonesia

PP. Langitan-Tuban
PP. Tremas-Pacitan
Pondok Modern Darussalam Gontor
PP. Lirboyo-Kediri
PP. Tebuireng-Jombang
PP. Al Falah-Mojo-Kediri
PP. Darul Ulum-Jombang

Kamis, 05 April 2012

Ahlussunnah Wa Al-Jama'ah

Mengenal Sejarah dan Pemahaman Ahlussunnah wal Jamaah

Penulis: Majalah Salafy Edisi Perdana/Syaban/1416
Manhaj, 27 Agustus 2003, 02:43:58

Sebelum kita berbicara tentang topik dan judul pembahasan ini, sebaiknya kita mengenal beberapa pengertian istilah yang akan dipakai dalam pembahasan ini.

A. Beberapa Pengertian

1. As-Sunnah

As-Sunnah ialah jalan yang ditempuh atau cara pelaksanaan suatu amalan baik itu dalam perkara kebaikan maupun perkara kejelekan. Maka As-Sunnah yang dimaksud dalam istilah Ahlus Sunnah ialah jalan yang ditempuh dan dilaksanakan oleh Rasulullah salallahu 'alaihi wa sallam serta para shahabat beliau, dan pengertian Ahlus Sunnah ialah orang-orang yang berupaya memahami dan mengamalkan As-Sunnah An-Nabawiyyah serta menyebarkan dan membelanya.

2. Al-Jama'ah

Menurut bahasa Arab pengertiannya ialah dari kata Al-Jamu' dengan arti mengumpulkan yang tercerai berai. Adapun dalam pengertian Asyari'ah, Al-Jama'ah ialah orang-orang yang telah sepakat berpegang dengan kebenaran yang pasti sebagaimana tertera dalam Al-Qur'an dan Al-Hadits dan mereka itu ialah para shahabat, tabi'in (yakni orang-orang yang belajar dari shahabat dalam pemahaman dan pengambilan Islam) walaupun jumlah mereka sedikit, sebagaimana pernyataan Ibnu Mas'ud radhiallahu anhu : "Al-Jama'ah itu ialah apa saja yang mencocoki kebenaran, walaupun engkau sendirian (dalam mencocoki kebenaran itu). Maka kamu seorang adalah Al-Jama'ah."

3. Al-Bid'ah

Segala sesuatu yang baru dan belum pernah ada asal muasalnya dan tidak biasa dikenali. Istilah ini sangat dikenal dkialangan shahabat Nabi Rasulullah salallahu 'alaihi wa sallam karena beliau selalu menyebutnya sebagai ancaman terhadap kemurnian agama Allah, dan diulang-ulang penyebutannya pada setiap hendak membuka khutbah. Jadi secara bahasa Arab, bid'ah itu bisa jadi sesuatu yang baik atau bisa juga sesuatu yang jelek. Sedangkan dalam pengertian syari'ah, bid'ah itu semuanya jelek dan sesat serta tidak ada yang baik. Maka pengertian bid'ah dalam syariah ialah cara pengenalan agama yang baru dibuat dengan menyerupai syariah dan dimaksudkan dengan bid'ah tersebut agar bisa beribadah kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala lebih baik lagi dari apa yang ditetapkan oleh syari'ah-Nya. Keyakinan demikian ditegakkan tidak di atas dalil yang shahih, tetapi hanya berdasar atas perasaan, anggapan atau dugaan. Bid'ah semacam ini terjadi dalam perkara aqidah, pemahaman maupun amalan.

4. As-Salaf

Arti salaf secara bahasa adalah pendahulu bagi suatu generasi. Sedangkan dalam istilah syariah Islamiyah as-salaf itu ialah orang-orang pertama yang memahami, mengimami, memperjuangkan serta mengajarkan Islam yang diambil langsung dari shahabat Nabi salallahu 'alaihi wa sallam, para tabi'in (kaum mukminin yang mengambil ilmu dan pemahaman/murid dari para shahabat) dan para tabi'it tabi'in (kaum mukminin yang mengambil ilmu dan pemahaman/murid dari tabi'in). istilah yang lebih lengkap bagi mereka ini ialah as-salafus shalih. Selanjutnya pemahaman as-salafus shalih terhadap Al-Qur'an dan Al-Hadits dinamakan as-salafiyah. Sedangkan orang Islam yang ikut pemahaman ini dinamakan salafi. Demikian pula dakwah kepada pemahaman ini dinamakan dakwah salafiyyah.

5. Al-Khalaf

Suatu golongan dari ummat Islam yang mengambil fislafat sebagai patokan amalan agama dan mereka ini meninggalkan jalannya as-salaf dalam memahami Al-Qur'an dan Al-Hadits. Awal mula timbulnya istilah Ahlus Sunnah wal Jama'ah tidak diketahui secara pasti kapan dan dimana munculnya karena sesungguhnya istilah Ahlus Sunnah wal Jama'ah mulai depopulerkan oleh para ulama salaf ketika semakin mewabahnya berbagai bid'ah dikalangan ummat Islam.

Yang jelas wabah bid'ah itu mulai berjangkit pada jamannya tabi'in dan jaman tabi'in ini yang bersuasana demikian dimulai di jaman khalifah Ali bin Abi Thalib radhiallahu anhu. Diriwayatkan oleh Imam Muslim dalam Kitab Shahihnya juz 1 hal.84, Syarah Imam Nawawi bab Bayan Amal Isnad Minad Din dengan sanadnya yang shahih bahwa Muhammad bin Sirrin menyatakan, "Dulu para shahabat tidak pernah menanyakan tentang isnad (urut-urutan sumber riwayat) ketika membawakan hadits Nabi salallahu 'alaihi wa sallam. Maka ketika terjadi fitnah yakni bid'ah mereka menanyakan, 'sebutkan para periwayat yang menyampaikan kepadamu hadits tersebut.' Dengan cara demikian mereka dapat memeriksa masing-masing para periwayat tersebut, apakah mereka itu dari ahlus sunnah atau ahlul bid'ah. Bila dari ahlus sunnah diambil dan bila ahlul bid'ah ditolak."

Riwayat yang sama juga dibawakan oleh Khalid Al-Baghdadi dengan sanadnya dalam kitab beliau. Riwayat ini memberitahukan kepada kita bahwa pada jaman Muhammad bin Sirrin sudah ada istilah ahlus sunnah dan ahlul bid'ah. Muhammad bin Sirrin lahir pada tahun 33 H dan meniggal pada tahun 110 H. kemudian istilah ini juga muncul pada jaman Imam Ahmad bin Hambal (lahir 164 dan meninggal 241 H) khususnya ketika terjadi fitnah pemahaman sesat yang menyatakan bahwa Al-Qur'an itu makhluk, bertentangan dengan ahlus sunnah yang menyatakan bahwa Al-Qur'an itu Kalamullah.

Fitnah terjadi di jaman pemerintahan Khalifah Al-Ma'mun Al-Abbasi. Imam Ahmad pada masa fitnah ini adalah termasuk tokoh yang paling berat mendapat sasaran permusuhan dan kekejaman para tokoh ahlul bid'ah melalui Khalifah tersebut. Mulai saat itulah istilah ahlus sunnah wal jama'ah menjadi sangat populer hingga kini. Jadi, istilah ahlu sunnah timbul dan menjadi populer ketika mulai serunya pergulatan antara as-salaf dan al-khalaf, akibat adanya infiltrasi berbagai filsafat asing ke dalam masyarakat Islam. Ahlus Sunnah wal Jama'ah kemudian menjadi simbol sikap istiqamahnya (tegarnya) para ulama ahlul hadits dalam berpegang dengan as-salafiyah ketika para tokoh ahlul bid'ah meninggalkannya dan ketika berbagai pemahaman dan amalan bid'ah mendominasi masyarakat Islam.

B. Dalil-Dalil Ahlus Sunnah wal Jama'ah

Mengapa ahlu sunnah demikian bersikeras merujuk pada pemahaman para shahabat Nabi salallahu 'alaihi wa sallam dalam memahami Al-Qur'an dan Al-Hadits? Ini adalah pertanyaan yang tentunya membutuhkan dalil-dalil Al-Qur'an dan Al-Hadits untuk menjawabnya. Ahlus Sunnah merujuk kepada para shahabat dalam memahami Al-Qur'an dan Al-Hadits dikarenakan Allah dan Rasul-Nya banyak sekali memberitahukan kemuliaan mereka, bahkan memujinya. Faktor ini membuat para shahabat menjadi acuan terpercaya dalam memahami Al-Qur'an dan Al-Hadits sebagai landasan utama bagi Syari'ah Islamiyah.

Dalil dari Al-Qur'an dan Al-Hadits shahih yang menjadi pegangan ahlus sunnah dalam merujuk kepada pemahaman shahabat sangat banyak sehingga tidak mungkin semuanya dimuat dalam tulisan yang singkat ini. Sebagian diantaranya perlu saya tulis disini sebagai gambaran singkat bagi pembaca tentang betapa kokohnya landasan pemahaman ahlus sunnah terhadap syariah ini.

1. Para shahabat Nabi salallahu alaihi wa sallam adalah kecintaan Allah dan mereka pun sangat cinta kepada Allah :

"Sesungguhnya Allah telah ridha kepada orang-orang mukmin ketika mereka berjanji setia kepadamu (Hai Muhammad) di bawah pohon (yakni Baitur Ridwan) maka Allah mengetahui apa yang ada di dalam hati mereka lalu menurunkan keterangan atas mereka dan memberi balasan atas mereka dengan kemenangan yang dekat (waktunya).(Al-Fath:18)

Ayat ini menerangkan bahwa Allah telah ridha kepada para shahabat yang turut membaiat Rasulullah salallahu alaihi wa sallam di Hudhaibiyyah sebagai tanda bahwa mereka telah siap taat kepada beliau dalam memerangi kufar (kaum kafir) Quraisy dan tidak lari dari medan perang.

Diriwayatkan bahwa yang ikut ba'iah tersebut seribu empat ratus orang. Dalam ayat lain, Allah Sunahanahu wa Ta'ala berfirman: "Hai orang-orang yang beriman, siapa di antara kalian yang murtad dari agama-Nya (yakni keluar dari Islam) niscaya Allah akan datangkan suatu kaum yang Ia mencintai mereka dan mereka mencintai Allah, bersikap lemah lembut terhadap kaum mukminin dan bersikap keras terhadap orang-orang kafir, mereka berjihad di jalan Alah dan tidak takut cercaan si pencerca. Yang demikian itu adalah keutamaan dari Allah yang diberikan kepada siapa saja yang Ia kehendaki dan Allah itu Maha Mendengar dan Maha Mengetahui."(Al-Maidah:54)

Ath-Thabari membawakan beberapa riwayat tentang tafsir ayat ini antara lain yang beliau nukilkan dari beberapa riwayat dengan jalannya masin-masing, bahwa Al-Hasan Al-Basri, Adh-Dhahadh, Qatadah, Ibnu Juraij, menyatakan bahwa yang dimaksud dengan ayat ini adalah Abu Bakar Ash-Shidiq dan segenap shahabat Nabi setelah wafatnya Rasulullah salallahu alaihi wa sallam dalam memerangi orang yang murtad.

2. Para shahabat Nabi salallahu alaihi wa sallam adalah umat yang adil yang dibimbing oleh Rasulullah salallahu alaihi wa sallam.

"Dan demikianlah Kami jadikan kalian adalah umat yang adil agar kalian menjadi saksi atas sekalian manusia dan Rasul menjadi saksi atas kalian."(Al-Baqarah:143)

Yang diajak bicara oleh Allah Subhanahu wa Ta'ala di ayat ini ialah para shahabat Nabi salallahu alaihi wa sallam. Mereka adalah kaum mukminin generasi pertama yang terbaik yang ikut menyaksikan turunnya ayat ini dan generasi pertama yang disebutkan dalam ayat Al-Qur'an. Ibnu Jarir Ath-Thabari menerangkan: "Dan aku berpandangan bahwasanya Allah Ta'ala menyebut mereka sebagai "orang yang ditengah" karena mereka bersikap tengah-tengah dalam perkara agama, sehingga mereka itu tidaklah sebagai orang-orang yang ghulu (ekstrim, melampaui batas) dalam beragama sebagaimana ghulunya orang-orang Nashara dalam masalah peribadatan dan pernyataan mereka tentang Isa bin Maryam alaihi salam. Dan tidak pula umat ini mengurangi kemuliaan Nabiyullah Isa alaihi salam, sebagaimana tindakan orang-orang Yahudi yang merubah ayat-ayat Allah dalam kitab-Nya dan membunuh para nabi-nabi mereka dan berdusta atas nama Allah dan mengkufurinya. Akan tetapi ummat ini adalah orang-orang yang adil dan bersikap adil sehingga Allah mensikapi mereka dengan keadilan, dimana perkara yang paling dicintai oleh Allah adalah yang paling adil.

3. Para shahabat adalah teladan utama setelah Nabi dalam beriman

Ditegaskan dalam firman Allah Subhanahu wa Ta'ala :

"Kalau mereka itu beriman seperti imannya kalian (yaitu kaum mukminin) terhadapnya, maka sungguh mereka itu mendapatkan perunjuk dan kalau mereka berpaling mereka itu dalam perpecahan. Maka cukuplah Allah bagimu (hai Muhammad) terhadap mereka dan Dia Maha Mendengar dan Maha Mengetahui."(Al-Baqarah:137)

Ayat ini menegaskan bahwa imannya kaum mukminin itu adalah patokan bagi suatu kaum untuk mendapat petunjuk Allah. Kaum mukminin yang dimaksud yang paling mencocoki kebenaran sebagaimana yang dibawa oleh Nabi salallahu alaihi wa sallam tidak lain ialah para shahabat Nabi yang paling utama dan generasi sesudahnya yang mengikuti mereka.

Juga ditegaskan pula hal ini oleh Allah Subhanahu wa Ta'ala dalam Surat Al-Fath 29 :

"Muhammad itu adalah Rasulullah, dan orang-orang yang besertanya keras terhadap orang-orang kafir, berkasih sayang sesama mereka. Engkau lihat mereka ruku dan sujud mengharapkan keutamaan dari Allah dan keridhaan-Nya. Terlihat pada wajah-wajah mereka bekas sujud. Demikianlah permisalan mereka di Taurat, dan demikian pula permisalan mereka di Injil. Sebagaimana tanaman yang bersemi kemudian menguat dan kemudian menjadi sangat kuat sehingga tegaklah ia diatas pokoknya, yang mengagumkan orang yang menanamnya, agar Allah membikin orang-orang kafir marah pada mereka. Allah berjanji kepada orang-orang yang beriman dari kalangan mereka itu ampunan dan pahala yang besar."

Dan masih banyak lagi ayat-ayat Al-Qur'an yang menjadi dalil bagi Ahlus Sunnah wal Jama'ah dalam merujuk kepada para shahabat Nabi salallahu alaihi wa sallam dalam memahami Al-Qur'an dan Al-Hadits. Tentunya dalil-dalil dari Al-Qur'an tersebut berdampingan pula dengan puluhan bahkan ratusan hadists shahih yang menerangkan keutamaan shahabat secara keseluruhan ataupun secara individu.

Dari hadits-hadits berikut dapat disimpulkan bahwa :

1. Kebaikan para sahabat tidak mungkin disamai :

"Jangan kalian mencerca para shahabatku, seandainya salah seorang dari kalian berinfaq sebesar gunung Uhud, tidaklah ia mencapai ganjarannya satu mud(ukuran gandum sebanyak dua telapak tangan diraparkan satu dengan lainnya) makanan yang dishodaqahkan oleh salah seorang dari mereka dan bahkan tidak pula mencapai setengah mudnya."(HR. Bukhari dan Muslim)

2. Para shahabat adalah sebaik-baik generasi dan melahirkan sebaik-baik generasi penerus pula :

"Dari Imran bin Hushain radhiallahu anhu bahwa Rasulullah salallahu alaihi wa sallam bersabda: 'Sebaik-baik ummatku adalah yang semasa denganku kemudian generasi sesudahnya (yakni tabi'in), kemudian generasi yang sesudahnya lagi (yakni tabi'it tabi'in). Imran mengatakan: 'Aku tidak tahu apakah Rasulullah menyebutkan sesudah masa beliau itu dua generasi atau tiga.' Kemudian Rasulullah salallahu alaihi wa sallam bersabda: 'Kemudian sesungguhnya setelah kalian akan datang suatu kaum yang memberi persaksian padahal ia tidak diminta persaksiannya, dan ia suka berkhianat dan tidak bisa dipercaya, dan mereka suka bernadzar dan tidak memenuhi nadzarnya, dan mereka berbadan gemuk yakni gambaran orang-orang yang serakah kepadanya'."(HR Bukhari)

3. Para shahabat Nabi salallahu alaihi wa sallam adalah orang-orang pilihan yang diciptakan Allah untuk mendampingi Nabi-Nya :

"Rasulullah salallahu alaihi wa sallam bersabda: 'Sesungguhnya Allah telah memilih aku dan juga telah memilih bagiku para shahabatku, maka Ia menjadikan bagiku dari mereka itu para pembantu tugasku, dan para pembelaku, dan para menantu dan mertuaku. Maka barang siapa mencerca mereka, maka atasnyalah kutukan Allah dan para malaikat-Nya an segenap manusia. Allah tidak akan menerima di hari Kiamat para pembela mereka yang bisa memalingkan mereka dari adzab Allah."(HR Al-Laalikai dan Hakim, SHAHIH)

Dan masih banyak lagi hadits-hadits shahih yang menunjukkan betapa tingginya kedudukan para shahabat Nabi salallahu alaihi wa sallam di dalam pandangan Nabi.

Maka kalau Allah dan Rasul-Nya di dalam Al-Qur'an dan Al-Hadits telah memuliakan para shahabat dan menyuruh kita memuliakannya, sudah semestinya kalau Ahlus Sunnah wal Jama'ah menjadikan pemahaman, perkataan, dan pengamalan para shahabat terhadap Al-Qur'an dan Al-Hadits sebagai patokan utama dalam menilai kebenaran pemahamannya. Ahlus sunnah juga sangat senang dan mantap dalam merujuk kepada para shahabat Nabi dalam memahami Al-Qur'an dan Al-Hadits.

(Dikutip dari Majalah Salafy Edisi Perdana/Syaban/1416 H/1995 H, Rubrik Aqidah, Hal 14-17)

Mengenal Ahlussunnah wa Al-Jamaah

Sebelum terjadinya fitnah dengan munculnya berbagai macam bid’ah, perpecahan dan perselisihan dalam ummat ini, ummat islam tidak dikenal kecuali dengan satu nama yaitu Islam. Akan tetapi setelah terjadinya fitnah dan perpecahan, muncullah golongan-golongan sesat yang mana setiap golongan menyerukan dan memprogandakan bid’ah dan kesesatannya dengan nama Islam. Hal ini tentunya menimbulkan kebingungan di tengah-tengah ummat, manakah ajaran Rasulullah Shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wasallam yang sebenarnya, yang belum bercampur dengan berbagai bentuk kesesatan, karena semua kelompok dengan beraneka ragam ajaran mereka yang berbeda, semuanya mengaku bahwa merekalah yang berada di atas ajaran Rasulullah Shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wasallam yang murni.
Hanya saja Allah Yang Maha Hikmah lagi Bijaksana telah menetapkan suatu keputusan dengan dalam firmannya:
إِنَّا نَحْنُ نَزَّلْنَا الذِّكْرَ وَإِنَّا لَهُ لَحَافِظُونَ
“Sesungguhnya Kami-lah yang menurunkan Al-Qur’an, dan sesungguhnya Kami benar-benar memeliharanya”. (QS. Al-Hijr : 9)
Ayat ini menunjukkan keharusan ajaran Islam yang murni yang dibawa oleh Nabi Shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wasallam pertama kali tidak akan lenyap dan tidak akan tertutupi oleh kebatilan. Karenanya Allah Subhanahu wa Ta’ala memberikan taufiq kepada para ulama salaf ketika itu, sehingga mulailah mereka menampakkan penamaan-penamaan syariat yang terambil dari agama Islam sendiri, berdasarkan Al-Qur`an dan As-Sunnah yang bisa membedakan antara pengikut kebenaran dengan golongan-golongan sesat tersebut.
Imam Muhammad bin Sirin rahimahullah berkata, “Dulunya mereka tidak pernah bertanya tentang sanad. Akan tetapi setelah terjadinya fitnah, mereka pun mulai bertanya, “Sebutkan kepada kami rawi-rawi kalian!”, lalu dilihat kepada Ahlus Sunnah maka diambil haditsnya dan dilihat kepada ahli bid’ah maka tidak diambil haditsnya (1)”. (HR. Muslim dalam Muqaddimah Shahih Muslim)
Maka berikut ini kami akan mencoba menguraikan secara rinci penamaan yang Ibnu Sirin sebutkan di atas, yaitu nama Ahlussunnah atau selengkapnya: Ahlussunnah wa al-jama’ah. Dengan harapan semoga kaum muslimin bisa mengetahui siapa sebenarnya yang pantas dijadikan rujukan dalam beragama, wallahul muwaffiq.

Definisi Ahlussunnah wa al-jama’ah.
Ini adalah salah satu penamaan lain dari salaf yang maknanya sama persis dengan makna salaf yang telah kita uraikan di atas, berikut uraiannya :
1. Secara bahasa :
Sunnah adalah jalan baik maupun jelek, lurus maupun sesat, sebagaimana dalam hadits Jabir bin ‘Abdillah Al-Bajaly radhiallahu ‘anhu dari Nabi Shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wasallam beliau bersabda :
مَنْ سَنَّ فِي الْإِسْلاَمِ سُنَّةً حَسَنَةً … وَمَنْ سَنَّ فِي الْإِسْلاَمِ سُنَّةً سَيِّئَةً
“Barangsiapa yang membuat dalam Islam sunnah yang baik … dan barangsiapa yang membuat dalam Islam sunnah yang jelek …”. (HR. Muslim)
Adapun jama’ah secara bahasa bermakna menyatukan sesuatu yang terpecah, maka jama’ah adalah lawan kata dari perpecahan.
{Lihat : Lisanul ‘Arab (17/89) dan Mauqif Ahlussunnah wal Jama’ah (1/29-33)}

2. Secara Istilah :
Sunnah yang diinginkan dalam penamaan ini adalah sunnah dalam artian umum yaitu Islam itu sendiri secara sempurna yang meliputi ‘aqidah, hukum, ibadah dan seluruh bagian syariat. Makna inilah yang ditunjukkan oleh kebanyakan hadits Rasulullah Shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wasallam, di antaranya :
1. Hadits Anas bin Malik secara marfu’:
فَمَنْ رَغِبَ عَنْ سُنَّتِي فَلَيْسَ مِنِّي
“Barangsiapa yang membenci sunnahku maka bukan termasuk golonganku”. (HR. Al-Bukhari dan Muslim)
2. Hadits ‘Irbadh bin Sariyah secara marfu’:
أُوْصِيْكُمْ بِتَقْوَى اللهِ وَالسَّمْعِ وَالطَّاعَةِ وَإِنْ عَبْدٌ حَبَشِيٌ, فَإِنَّهُ مَنْ يَعِشْ مِنْكُمْ فَسَيَرَى اخْتِلاَفًا كَثِيْرًا, فَعَلَيْكُمْ بِسُنَّتِي وَسُنَّةِ الْخُلَفَاءِ الْمَهْدِيِّيْنَ الرَّاشِدِيْنَ, تَمَسَّكُوْا بِهَا وَعَضُّوْا عَلَيْهَا بِالنَّوَاجِذِ
“Saya berwasiat kepada kalian untuk bertakwa kepada Allah, mendengar dan taat (kepada pemerintah) walaupun (pemerintah tersebut) seorang budak Habasyi, karena sesungguhnya barangsiapa yang tetap hidup di antara kalian maka dia akan melihat perselisihan yang sangat banyak,maka wajib atas kalian (untuk mengikuti) sunnahku dan sunnah para khulafa` yang mendapatkan hidayah dan petunjuk, berpegang teguhlah kalian dengannya serta gigitlah ia dengan gigi geraham kalian”. (HR. Imam Empat kecuali An-Nasai)
3. Hadits Abu Hurairah secara marfu’:
يآ أَيُّهَا النَّاسُ, إِنِّي تَرَكْتُ فِيْكُمْ مَا إِنِ اعْتَصَمْتُمْ بِهِ فَلَنْ تَضِلُّوْا أَبَدًا : كِتَابَ اللهِ وَسُنَّتِي
”Wahai sekalian manusia, sesungguhnya saya telah tinggalkan untuk kaliansuatu perkara yang kalau kalian berpegang teguh kepadanya niscaya kalian tidak akan sesat selamanya ; yaitu kitab Allah dan Sunnahku”. (HR. Al-Hakim dan dishohihkan oleh Syaikh Al-Albany)

Dan makna ini pula yang disebutkan oleh para ulama, di antaranya :
Imam Al-Barbahari rahimahullah berkata di awal kitab beliau Syarhus Sunnah : “Ketahuilah sesungguhnya Islam itu adalah sunnah dan sunnah adalah islam dan tidaklah tegak salah satu dari keduanya kecuali dengan yang lainnya”.
Syaikhul Islam dalam Majmu’ Fatawa (4/180) menukil dari Imam Abul Hasan Muhammad bin Abdil Malik Al-Karkhy bahwa beliau berkata, “Ketahuilah bahwa sunnah adalah jalan Rasulullah Shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wasallam serta mengupayakan untuk menempuh jalannya dan ia (sunnah) ada 3 bagian: Perkataan, perbuatan dan akidah”.
Imam Ibnu Rajab rahimahullah berkata, “Sunnah adalah suatu jalan yang ditempuh dan jalan itu mencakup berpegang teguh terhadap apa-apa yang beliau Shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wasallam berada di atasnya dan para khalifahnya yang mendapat petunjuk berupa keyakinan, amalan dan perkataan. Inilah makna sunnah yang sempurna, karena itulah para ulama salaf terdahulu tidak menggunakan kalimat sunnah kecuali apa-apa yang meliputi seluruh hal itu. Hal ini diriwayatkan dari Al-Hasan, Al-Auza’i dan Fudhail bin ‘Iyadh”. Lihat Jami’ Al-‘Ulum wal Hikam hal 249
Dari penjelasan makna sunnah secara umum di atas akan memberikan gambaran yang jelas kepada kita tentang siapakah sebenarnya Ahlus Sunnah (pengikut sunnah) itu. Berikut beberapa perkataan para ulama dalam memberikan definisi Ahlus Sunnah :
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah dalam Majmu’ Fatawa (3/375) berkata, “Mereka adalah orang-orang yang berpegang teguh kepada Al-Qur’an dan sunnah Rasulullah Shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wasallam dan apa-apa yang disepakati oleh orang-orang terdahulu lagi pertama dari kalangan shahabat Muhajirin dan Anshar dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik”.
Ibnu Hazm rahimahullah berkata dalam Al-Fishal (2/281), “… dan Ahlus Sunnah yang telah kami sebutkan adalah ahlul haq (pengikut kebenaran) dan selain mereka adalah ahlul bid’ah, maka ahlus sunnah mereka itulah para shahabat radhiallahu ‘anhum dan siapa saja yang menempuh jalan mereka dari orang-orang pilihan dari kalangan tabi’in kemudian ashhabul hadits (pakar hadits) dan siapa saja yang mengikuti mereka dari para ahli fiqh dari zaman ke zaman sampai hari kita ini dan orang-orang yang mengikuti mereka dari orang awwam di Timur maupun di Barat bumi rahmatullah ’alaihim“.
Dan Ibnul Jauzy berkata dalam Talbis Iblis hal. 21, “Tidak ada keraguan bahwa pakar riwayat dan hadits yang mengikuti jejak Rasulullah Shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wasallam dan jejak para sahabatnya mereka itulah Ahlu Sunnah karena mereka di atas jalan yang belum terjadi perkara baru (bd’ah) padanya, karena perkara baru dan bid’ah hanyalah terjadi setelah (zaman) Rasulullah Shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wasallam dan para sahabatnya”.

Adapun Al-Jama’ah secara istilah, maka para ulama berbeda menjadi enam penafsiran tentang makna jama’ah yang tersebut di dalam hadits-hadits Rasulullah Shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wasallam, semisal:
1. Hadits Mu’awiyah bin Abi Sufyan radhiallahu ‘anhu tentang perpecahan ummat, Nabi Shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wasallam bersabda :
وَإِنَّ هَذِهِ الْمِلَّةَ سَتَفْتَرِقُ عَلَى ثَلَاثٍ وَسَبْعِينَ ثِنْتَانِ وَسَبْعُونَ فِي النَّارِ وَوَاحِدَةٌ فِي الْجَنَّةِ وَهِيَ الْجَمَاعَةُ
فِي رِوَايَةٍ : مَنْ كَانَ عَلَى مِثْلِ مَا أَنَا عَلَيْهِ الْيَوْمَ وَأَصْحَابِي
“Sesunggunya agama (ummat) ini akan terpecah menjadi 73 (kelompok), 72 di (ancam masuk ke) dalam Neraka dan satu yang didalam Surga, dia adalah Al-Jama’ah”. (HR. Ahmad dan Abu Daud dan juga diriwayatkan oleh Ibnu Majah dari Anas bin Malik radhiallahu ‘anhu dan juga mirip dengannya dari hadits Auf bin Malik radhiallahu ‘anhu)
Dalam suatu riwayat, “(Al-Jama’ah adalah) siapa yang berada di atas seperti apa yang saya dan para shahabatku berada di atsnya”. (Hadits hasan dari seluruh jalan-jalannya)
2. Hadits ‘Abdullah bin Mas’ud radhiallahu ‘anhu, Rasulullah Shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wasallam bersabda :
لَا يَحِلُّ دَمُ امْرِئٍ مُسْلِمٍ يَشْهَدُ أَنْ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ وَأَنِّي رَسُولُ اللَّهِ إِلَّا بِإِحْدَى ثَلَاثٍ الثَّيِّبُ الزَّانِي وَالنَّفْسُ بِالنَّفْسِ وَالتَّارِكُ لِدِينِهِ الْمُفَارِقُ لِلْجَمَاعَةِ
“Tidak halal (menumpahkan) darah seorang muslim yang bersaksi bahwa tiada sembahan yang berhak disembah selain Allah dan bahwa saya adalah Rasululullah kecuali dengan salah satu dari tiga perkara : Orang yang telah berkeluarga yang berzina, jiwa dengan jiwa dan orang yang meninggalkan agamanya dan memisahkan diri dari Al-Jama’ah”. (HR. Al-Bukhari dan Muslim)
3. Hadits Ibnu ‘Abbas radhiallahu ‘anhuma, Nabi Shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wasallam bersabda :
فَإِنَّهُ مَنْ فَارَقَ الْجَمَاعَةَ شِبْرًا فَمَاتَ إِلَّا مَاتَ مِيتَةً جَاهِلِيَّةً
وَفِي رِوَايَةٍ لِمُسْلِمٍ : مَنْ خَرَجَ مِنْ الطَّاعَةِ وَفَارَقَ الْجَمَاعَةَ …
“… Karena sesungguhnya barangsiapa yang memisahkan diri dari Al-Jama’ah walaupun sejengkal lalu dia mati kecuali dia mati di atas bentuk matinya jahiliyah”. (HR. Al-Bukhari dan Muslim)
Dan dalam riwayat Muslim, “Barangsiapa yang keluar dari ketaatan (kepada pemerintah) dan memisahkan diri dari Al-Jama’ah …”. (dari Shahabat Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu)
Hanya saja yang perlu diketahui bahwa keenam penafsiran yang disebutkan oleh para ulama tidak ada yang saling bertentangan dan saling menafikan, bahkan semuanya menunjukkan makna Al-Jama’ah yang syar’i dalam Islam. Secara umum keenam penafsiran ini bisa dikembalikan kepada dua penafsiran sebagaimana yang diisyaratkan oleh imam Al-Khoththobi rahimahullah, yaitu :
1. Jama’atul Adyan (Jama’ah dalam agama) yaitu pengikut kebenaran dari kalangan para shahabat dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik dari kalangan para ulama dan selainnya, walaupun dia hanya seorang diri. Ini adalah penafsiran Ibnu Mas’ud radhiallahu ‘anhu, Imam Al-Barbary, Ibnu Katsir, ‘Umar bin ‘Abdil ‘Aziz, Al-Bukhary, At-Tirmidzy dan lain-lainnya rahimahumullah.
Ibnu Mas’ud radhiallahu ‘anhu berkata, “Al-Jama’ah adalah apa-apa yang sesuai dengan kebenaran walaupun engkau sendirian”.
2. Jama’atul Abdan (Jama’ah badan) yaitu jama’ah kaum muslimin jika mereka bersepakat berkumpul di bawah satu pimpinan (Negara yang syah), dan ini adalah penafsiran Ibnu Jarir Ath-Thobary dan Ibnul Atsir rahimahumallah.
Inilah dua makna Al-Jama’ah yang tsabit dan benar dalam syari’at Islam, tidak ada makna ketiga. Lihat kitab Al-‘Uzlah karya Al-Khoththoby rahimahullah.

Dari sini kita bisa mengetahui jelasnya kebatilan pembentukan jama’ah-jama’ah baru dalam Islam, karena kalau yang mereka inginkan dengan makna jama’ah adalah makna yang pertama maka pemimpinnya dan yang wajib ditaati dan dilaksanakan perintahnya hanya satu yaitu Rasulullah Shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wasallam tidak ada orang kedua, dan jika mereka menginginkan dengannya makna yang kedua maka pemimpin yang wajib didengar dan ditaati serta yang berhak diberikan bai’at kepadanya juga hanyalah satu orang yaitu pemimpin Negara dalam hal ini di Indonesia adalah seorang Presiden, bukan ‘imam-imam’ yang dibentuk oleh masing-masing jama’ah, karena perbuatan ini justru merupakan pemecahbelahan ummat dan merupakan suatu bentuk perbuatan khuruj (kudeta) kepada pemerintah yang syah.

Sebagai kesimpulan maka kita katakan: Ahlus Sunnah wal Jama’ah adalah suatu penamaan ataupun sifat yang dimiliki oleh setiap orang yang mengikuti dengan baik jalannya Rasulullah Shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wasallam dan para shahabat beliau dari kalangan para ulama sampai orang-orang awwamnya ummat ini, dia bukan suatu nama organisasi atau kelompok atau jama’ah buatan orang-orang belakangan akan tetapi Ahlus Sunnah wal Jama’ah adalah penamaan lain dari Islam itu sendiri yang murni dari berbagai bentuk bid’ah dan penyimpangan. Maka siapapun orangnya, di belahan bumi manapun dia berada dan apapun warna kulitnya semuanya bisa bernama dengan nama Ahlus Sunnah wal Jama’ah sepanjang dia komitmen dengan Al-Kitab dan Sunnah Rasulullah Shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wasallam sesuai dengan pemahaman para shahabat walaupun dia hanya seorang diri tanpa ada orang yang mengikutinya, sebagaimana yang dikatakan oleh Ibnu Mas’ud radhiallahu ‘anhu.

{Lihat : Mauqif Ahlus Sunnah wal Jama’ah (1/29-37 dan 47-54), Al-I’tishom (2/767-776) dan Mauqif Ibnu Taimiyah Minal Asy’ariyah (1/26-32)}.

_______________
(1) Maksudnya : Sebelum terjadinya fitnah dengan terbunuhnya ‘Utsman bin ‘Affan, bila ada yang membawakan hadits dari Nabi Shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wasallam maka langsung diterima tanpa mempertanyakan asal pengambilannya. Akan tapi setelah terjadinya fitnah, kaum musliminpun sadar bahwa di antara mereka ada orang-orang yang menghendaki kerusakan Islam, sehingga ketika ada yang membawakan hadits dari Nabi Shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wasallam mereka mulai bertanya dari mana dia mendengar hadits itu. Bila nama yang dia sebutkan adalah ahlus sunnah maka baru diterima haditsnya dan demikian pula sebaliknya.

Sumber : http://beritamuslimsahih-ahlussunnah.blogspot.com/2010/10/ahlussunnah-wa-al-jamaah.html

Senin, 02 April 2012

Makna Kata Islam


Kata Islam berasal dari bahasa arab ‘aslama’, ditinjau dari bahasa arab, Islam dapat diartikan sebagai :
Islam berarti taat/patuh dan berserah diri kepada Allah SWT.
Islam berarti juga damai dan kasih sayang. Maksudnya Islam mengajarkan damai dan kasih sayang bagi umat manusia tanpa memandang warna kulit, agama, dan status sosial.
Islam berarti selamat, maksudnya Islam adalah petunjuk untuk memperoleh keselamatan hidup baik di dunia maupun di akhirat kelak.
“Sesungguhnya agama (yang diridhai) di sisi Allah hanyalah Islam”
Q.S. Ali Imran: 19)

By : http://ilmuagama.com/2010/07/makna-kata-islam/

Sebelum Berislam, Lopez Casanova Pernah Mengkristenkan Ribuan Orang dalam Sepekan

CALIFORNIA – Melissa Lopez Casanova lahir dan dibesarkan dalam sebuah keluarga Protestan yang sangat taat. Dalam keluarganya ada beberapa pastor, penginjil, pendeta, dan guru. Kedua orang tuanya menginginkan agar Lopez menjadi pemimpin Kristen. Karenanya, sejak kecil ia dimasukkan di sekolah khusus untuk mempelajari Alkitab.

Namun, Allah memberinya hidayah. Dalam perjalanan mempelajari Alkitab, Lopez malah menemukan Islam. Ia pun memeluk agama Allah yang dibawa oleh Nabi Muhammad SAW sebagai agama terakhirnya.

“Aku bersyukur dilahirkan dalam keluarga Protestan yang religius yang memungkinkanku mempelajari Alkitab. Jika tidak, aku mungkin tidak mampu memahami pesan Islam,“ ujarnya.

Lopez menjadi seorang Muslimah karena kepercayaan dan keyakinannya terhadap Tuhan. “Itulah yang kemudian membuatku mengakui validitas Islam sebagai agama dari Tuhan.“

Lalu, bagaimana perjalanan spiritualnya dalam menemukan Islam?

meski Lopez tumbuh dalam keluarga yang religius, di California, Amerika Serikatia bergaul dengan teman-teman Kristen dari sektor atau denominasi yang bermacam-macam. Ia juga berteman dengan mereka yang beragama Yahudi, juga seorang Saksi Yehuwa. “Aku tak pernah menghakimi apa yang mereka yakini dan aku pun tidak memiliki ketertarikan terhadap kelompok agama mana pun,” ujarnya.

Menurut dia, Kristen nondenominasi seperti dirinya selalu diajarkan bahwa, “Jika kamu percaya Kristus, kamu adalah seorang umat Kristen, dan kita semua sama di mata Tuhan, apa pun denominasi yang membedakan kita.“

Seiring perjalanan Lopez dihadapkan pada sebuah kegamangan akan agama yang dianutnya. “Aku tidak mengetahui seberapa lama Alkitab telah diubah dan dimodifikasi. Setiap golongan dalam Kristen selalu mengklaim bahwa golongan merekalah yang benar, sedang yang lainnya salah.”

Namun jauh di lubuk hatinya, Lopez selalu meyakini bahwa hanya ada satu Tuhan.

Ia pertama kali mendengar nama “Allah“ dari pengajarnya di sekolah Alkitab. “Orang Cina berdoa pada Buddha, dan orang Arab berdoa pada Allah.“ Saat itu, ia menyimpulkan bahwa Allah adalah nama sebuah berhala.

Kuliah di jurusan bisnis internasional membuat Lopez merasa perlu menguasai bahasa asing untuk menunjang kariernya di masa depan. Atas saran teman kuliahnya, Lopez mempelajari bahasa Arab.

“Temanku beralasan, negara mana pun yang memiliki penduduk Muslim menggunakan bahasa Arab karena itu merupakan bahasa asli Alquran,“ katanya.

Saat itu, pada 2006, Lopez mendengar kata “Alquran“ untuk pertama kalinya. Di kelas bahasa Arab yang diikutinya, Lopez mengenal banyak mahasiswa Muslim. Mereka umumnya keturunan Timur Tengah yang lahir dan besar di AS.

Kelas pertama yang diambilnya pada 2006 bertepatan dengan bulan Ramadhan. Lopez terkesan dengan amalan puasa yang dilakukan temanteman Muslimnya. Ia memandangnya sebagai bentuk ketundukan hamba di hadapan Tuhannya.

Lopez pun mencoba berpuasa, bukan karena tertarik menjadi Muslim, melainkan semata untuk mengekspresikan ketundukannya sebagai umat Kristen yang taat. “Itu pun karena puasa juga ada dalam agama Kristen. Yesus pernah berpuasa selama 40 hari,” katanya.

Pada bulan Ramadhan itu, seorang teman Muslim memberinya literatur Islam dan sekeping compact disk (CD) yang ditolaknya. Ia teringat ucapan ibunya, “Semua agama yang salah adalah benar menurut kitab mereka.“ Lopez tak tergoda untuk mengenal Islam, agama asing yang salah di matanya.

Mengkristenkan 55 ribu orang dalam sepekan

Musim panas 2008, Lopez bergabung dengan para misionaris Kristen dan melakukan perjalanan ke Jamaika untuk sebuah misi Kristenisasi. Ia dan timnya membantu orang-orang miskin di sana. Ia dan timnya dan berhasil mengkristenkan sekitar 55 ribu orang dalam sepekan.

Sepulang dari Jamaika, Lopez berdoa memohon petunjuk. Ia ingin melakukan lebih banyak pengabdian pada Tuhan. “Permintaan itu dijawab-Nya dengan memberiku seorang teman Muslim,” katanya.

Ia beberapa kali mengajak teman Muslimnya ke gereja dan berpikir bahwa temannya akan terpengaruh dan menjadi seorang Kristen sepertinya.

Suatu saat, temannya mengatakan bahwa gereja adalah tempat yang bagus, tetapi ia menyayangkan kepercayaan jamaatnya yang memercayai Trinitas.

“Sayangnya, temanku salah menguraikan pengertian dari Trinitas itu. Aku hanya tertawa dan meralatnya,“ kata Lopez.

Ia sempat berpikir tentang betapa fatalnya jika ia melakukan hal yang sama. Memberikan komentar soal agama lain yang tidak dipahami dengan baik adalah sesuatu yang dinilainya sebagai ucapan yang kurang berpendidikan.

Ia pun memutuskan mempelajari hal-hal mendasar tentang Islam. Lopez mulai menemukan persamaan antara Kristen dan Islam. Itu terjadi ketika ia mengetahui bahwa ternyata Yudaisme, Kristen, dan Islam berbagi kisah dan nabi serta keti ganya dapat diusut asal muasalnya ingga bertemu dalam silsilah sejarah yang sama.

“Sebenarnya, lebih banyak persamaan antara Kristen dan Islam dibanding perbedaan antara keduanya,“ kata Lopez.

Suatu hari, ia kagum dengan teman Muslimnya yang tidak malu berdoa dan shalat di tempat umum, dengan lutut dan kepala di atas lantai. “Sementara, aku bahkan terkadang malu untuk sekadar menundukkan kepala sambil memejamkan mata (berdoa) saat hendak makan di tempat-tempat umum.“

Perasaan ‘aneh’ saat mendengar ayat Alquran

Di lain hari, teman Muslimnya kembali ikut serta pergi ke gereja bersama Lopez. Di tengah perjalanan dengan menggunakan mobil itu, temannya memohon izin memutar CD Alquran di mobilnya karena ia sedang mempersiapkan diri untuk shalat.

“Agar sopan, aku mengizinkannya. Selanjutnya, aku hanya ikut mendengarkan dan menyimaknya,“ kata Lopez.

Hal yang tidak diduga pun terjadi. Ia masih ingat bagaimana ayat-ayat Alquran yang didengarnya memunculkan sebuah perasaan aneh. Perasaan itu berbaur dengan kebingungan yang tak bisa dijelaskan.

“Aku tidak bisa memahami mengapa diriku bisa mengalami perasaan semacam itu terhadap sesuatu di luar Kristen,” katanya.

Setelah beberapa lama pergolakan batin itu dirasakannya. Lopez akhirnya memutuskan untuk mengenal jauh tentang Islam. Namun, hingga hari penting itu, ia masih menyimpan perasaan takut. Hingga saat menyetir mobilnya, ia berdoa, “Tuhan, lebih baik aku mati dan dekat dengan-Mu daripada hidup selama satu hari, namun jauh dari-Mu.“

Lopez berpikir, mengalami kecelakaan mobil saat menuju Islamic Center San Diego untuk bersyahadat adalah membuktikan pilihan yang salah. Namun, ia tiba di tujuan dengan selamat, dan mengikrarkan keislamannya di hadapan publik.

Jumat itu, 28 Agustus 2008, beberapa hari menjelang Ramadhan, Lopez memeluk Islam. “Sejak itu, aku adalah seorang Muslim yang bahagia, yang mencintai shalat dan puasa. Keduanya mengajarkanku kedisiplinan sekaligus ketundukan kepada Tuhan,” katanya.
By : http://ilmuagama.com/2011/11/sebelum-berislam-lopez-casanova-pernah-mengkristenkan-ribuan-orang-dalam-sepekan/#more-143

Tiga dari Empat Mualaf Inggris Ternyata Kaum Perempuan…Ini Alasan Mereka Memilih Islam

LONDON – Tiga perempat dari mualaf Inggris adalah perempuan. Richard Peppiatt dari Independent telah menemukan bahwa dari 5.200 warga Inggris yang masuk Islam pada tahun 2010, lebih dari 50 persennya adalah warga kulit putih dan tiga perempat dari mereka adalah perempuan.

Selain itu, peneliti yang berbasis di Swansea University juga menemukan bahwa dari 40 ribu orang di Inggris masuk Islam dalam 10 tahun terakhir, dan mayoritas adalah perempuan.

Temuan ini hampir senada dengan Faith Matters, yang menyebut 53 persen dari mualaf Inggris kulit putih adalah perempuan. Angkanya meningkat 66 persen pada kurun 2002-2010 dibanding dengan rentang waktu yang sama sebelum 2001.

Umumnya, para mualaf ini terbentur dengan problem sehari-hari, untuk mengintegrasikan keyakinan mereka yang baru dalam batas-batas yang lebih luas dari masyarakat, di mana mereka sering dianggap sebagai orang luar, meskipun berlatar belakang Barat. Sebuah studi baru-baru ini di Leicester menemukan fakta mengejutkan bahwa 93 persen masjid memerlukan layanan untuk mualaf, tetapi hanya 7 persen dari mereka yang bisa memenuhi kebutuhan ini.

Kevin Brice, yang melakukan penelitian yang luas dalam perkembangan sosiologis mualaf, berbicara kepada The Outlook tentang beberapa alasan mengapa wanita masuk Islam. “Islam menawarkan wanita rasa perlindungan dan identitas – ini mungkin terdengar kontra-intuitif diberikan cara Islam biasanya digambarkan di media – tetapi beberapa wanita menemukan pakaian sederhana yang dibutuhkan oleh Islam ini bersifat ‘membebaskan’,” katanya.

Islam, katanya, juga dipandang sebagai lebih mendukung nilai-nilai keluarga ‘http://www.blogger.com/img/blank.gifkuno’, dan perempuan memiliki peran yang jelas dalam keluarga. Banyak mualaf yang mulai menemukan Islam dari keresahan mereka dengan alkohol dan mabuk-mabukan, kurangnya moralitas dan kebebasan seksual, dan konsumerisme, semua yang dilihat sebagai lazim dalam masyarakat Inggris. “Islam menawarkan mereka sebuah pendekatan yang berbeda,” tambahnya.

Brice juga berbicara tentang sejumlah kesalahpahaman yang berhubungan dengan mualaf. “Pertama, penting untuk mengenali bahwa mayoritas mualaf telah dikonversi melalui pilihan bebas dan melihat diri mereka tetap sebagai orang Inggris dan Muslim. Mengkonversi tidak mewakili tudingan licik bahwa mereka bertekad untuk mengganggu cara hidup Barat,” katanya.

By : http://ilmuagama.com/2011/11/tiga-dari-empat-mualaf-inggris-ternyata-kaum-perempuan-ini-alasan-mereka-memilih-islam/

Keutamaan Menuntut Ilmu Agama

Dari Mu’awiyah bin Abi Sufyan radhiallahu ‘anhu dia berkata: Aku mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

من يرد الله به خيرا يفقهه في الدين

“Barangsiapa yang Allah kehendaki baginya kebaikan maka Dia akan memahamkan baginya agama (Islam).” [1]


Hadits yang mulia ini menunjukkan agungnya kedudukan ilmu agama dan keutamaan yang besar bagi orang yang mempelajarinya, sehingga Imam an-Nawawi dalam kitabnya Riyadhush Shalihin [2], pada pembahasan “Keutamaan Ilmu” mencantumkan hadits ini sebagai hadits yang pertama.

Imam an-Nawawi berkata: “Hadits ini menunjukkan keutamaan ilmu (agama) dan keutamaan mempelajarinya, serta anjuran untuk menuntut ilmu.” [3]

Imam Ibnu Hajar al-’Asqalaani berkata: “Dalam hadits ini terdapat keterangan yang jelas tentang keutamaan orang-orang yang berilmu di atas semua manusia, dan keutamaan mempelajari ilmu agama di atas ilmu-ilmu lainnya.” [4]

Mutiara hikmah yang dapat kita petik dari hadits ini adalah:

Ilmu yang disebutkan keutamaannya dan dipuji oleh Allah Ta’ala dan Rasul-Nya adalah ilmu agama. [5]
Salah satu ciri utama orang yang akan mendapatkan taufik dan kebaikan dari Allah Ta’ala adalah dengan orang tersebut berusaha mempelajari dan memahami petunjuk Allah Ta’ala dan Rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam agama Islam. [6]
Orang yang tidak memiliki keinginan untuk mempelajari ilmu agama akan terhalangi untuk mendapatkan kebaikan dari Allah Ta’ala. [7]
Yang dimaksud dengan pemahaman agama dalam hadits ini adalah ilmu/pengetahuan tentang hukum-hukum agama yang mewariskan amalan shaleh, karena ilmu yang tidak dibarengi dengan amalan shaleh bukanlah merupakan ciri kebaikan. [8]
Memahami petunjuk Allah Ta’ala dan Rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan benar merupakan penuntun bagi manusia untuk mencapai derajat takwa kepada Allah Ta’ala. [9]
Pemahaman yang benar tentang agama Islam hanyalah bersumber dari Allah semata, oleh karena itu hendaknya seorang muslim disamping giat menuntut ilmu, selalu berdoa dan meminta pertolongan kepada Allah Ta’ala agar dianugerahkan pemahaman yang benar dalam agama. [10]

***

Penulis: Ustadz Abdullah Taslim, M.A.
Artikel www.muslim.or.id

Footnote:

[1] HSR al-Bukhari (no. 2948) dan Muslim (no. 1037).

[2] 2/463- Bahjatun Naazhiriin.

[3] Syarah Shahih Muslim (7/128).

[4] Fathul Baari (1/165).

[5] Lihat keterangan Syaikh Muhammad bin Shaleh al-’Utsaiman dalam kitab al-Ilmu (hal. 9).

[6] Lihat kitab Miftaahu Daaris Sa’aadah (1/60).

[7] Lihat kitab Fathul Baari (1/165) dan Miftaahu Daaris Sa’aadah (1/60).

[8] Lihat kitab Miftaahu Daaris Sa’aadah (1/60).

[9] Lihat kitab Syarah Shahih Muslim (7/128) dan Faidhul Qadiir (3/510).

[10] Lihat Bahjatun Naazhiriin (2/463).

By : http://muslim.or.id/akhlaq-dan-nasehat/keutamaan-menuntut-ilmu-agama.html

Minggu, 01 April 2012

Pengajian Live In Lamongan


Ilmu Tafsir

ILMU TAFSIR AL-QUR’AN

A. Pengertian Tafsir
Secara etimologi tafsir bisa berarti Penjelasan, Pengungkapan, dan Menjabarkan kata yang samar.
Adapun secara terminologi tafsir adalah penjelasan terhadap Kalamullah atau menjelaskan lafadz-lafadz al-Qur’an dan pemahamannya. Ilmu tafsir merupakan ilmu yang paling mulia dan paling tinggi kedudukannya, karena pembahasannya berkaitan dengan Kalamullah yang merupakan petunjuk dan pembeda dari yang haq dan bathil. Ilmu tafsir telah dikenal sejak zaman Rasulullah dan berkembang hingga di zaman modern sekarang ini.
Jadi, Secara umum Ilmu tafsir adalah ilmu yang bekerja untuk mengetahui arti dan maksud dari ayat-ayat al Qur’an. Pada waktu Nabi Muhammad masih hidup, beliau sendiri yang menjelaskan apa maksud dari ayat Al Qur’an, maka hadis Nabi disebut sebagai penjelasan dari al Qur’an. Setelah Nabi wafat, para sahabat berusaha menerangkan maksud al Qur’an bersumber dari pemahaman mereka terhadap keterangan nabi dan dari suasana kebatinan saat itu. Pada masa dimana generasi sahabat sudah tidak ada yang hidup, maka pemahaman al Qur’an dilakukan oleh para ulama, dengan interpretasi. Ketika itulah tafsir tersusun sebagai ilmu.

B. MACAM-MACAM TAFSIR BERDASARKAN SUMBERNYA

Pembagian Tafsir secara ilmiah, tafsir terbagi menjadi tiga bagian:
- Tafsir bil-ma’tsur ( bir-riwayah )
- Tafsir bir-ra’yi ( bid-dirayah )
- Tafsirul isyari ( bil-isyarah )
- Tafsir bil Izdiwaji ( campuran )

1. Tafsir bil-ma’tsur
Adalah penafsiran Al Qur’an dengan Qur’an, atau dengan Hadits ataupun perkataan para Shahabat, untuk menjelaskan kepada sesuatu yang dikehendaki Allah swt.
Mengenai penafsiran Al Qur’an dengan perkataan para Shahabat ketahuilah, bahwasanya Tafsir Shahabat termasuk Tafsir yang dapat diterima dan dijadikan sandaran. Karena para Shahabat (semoga Allah meridhoi mereka), telah dibina langsung oleh Rasulullah saw, dan menyaksikan turunnya wahyu serta mengetahui sebab-sebab diturunkannya ayat.
Dan juga dikarenakan kebersihan hati mereka, dan ketinggian martabat mereka dalam kefashihan dan bayan. Juga karena faham mereka yang shahih dalam menafsirkan Kalam Allah swt. Dan juga dikarenakan mereka lebih mengetahui rahasia-rahasia yang terkandung dalam Al Qur’an dibandingkan seluruh manusia setelah generasi mereka.
Berkata Imam Hakim Rahimahullah: Sesungguhnya tafsir para Shahabat (semoga Allah meridhoi mereka) yang mana mereka telah menyaksikan wahyu dan turunnya Al Qur’an dihukumkan Marfu’ (sampai atau bersambung kepada Nabi saw). Ataupun dengan kata lain, tafsir para Shahabat mempunyai hukum hadits Nabawi yang Marfu’ kepada Nabi saw.

2. Tafsir bir-ra’yi
Adalah tafsir yang dalam menjelaskan maknanya, Mufassir hanya perpegang pada pemahaman sendiri. Dan penyimpulan (istinbath) yang didasarkan pada ra’yu semata.
Seiring perkembangan zaman yang menuntut pengembangan metoda tafsir karena tumbuhnya ilmu pengetahuan pada masa Daulah Abbasiyah maka tafsir ini memperbesar peranan ijtihad dibandingkan dengan penggunaan tafsir bi al-Matsur. Dengan bantuan ilmu-ilmu bahasa Arab, ilmu qiraah, ilmu-ilmu Al-Qur’an, hadits dan ilmu hadits, ushul fikih dan ilmu-ilmu lain.
Seorang mufassir akan menggunakan kemampuan ijtihadnya untuk menerangkan maksud ayat dan mengembangkannya dengan bantuan perkembangan ilmu-ilmu pengetahuan yang ada.

Pembagian Tafsir bir-ra’yi:
Tafsir bir-ra’yi terbagi menjadi dua bagian: - Tafsir Mahmud
- Tafsir Madzmum
a. Tafsir Mahmud: Adalah suatu penafsiran yang sesuai dengan kehendak syari’at (penafsiran oleh orang yang menguasai aturan syari’at), jauh dari kebodohan dan kesesatan, sesuai dengan kaidah-kaidah bahasa arab, serta berpegang pada uslub-uslubnya dalam memahami nash-nash Qur’aniyah.

b. Tafsir al Madzmum: Adalah penafsiran Al Qur’an tanpa berdasarkan ilmu, atau mengikuti hawa nafsu dan kehendaknya sendiri, tanpa mengetahui kaidah-kaidah bahasa atau syari’ah. Atau dia menafsirkan ayat berdasarkan mazhabnya yang rusak maupun bid’ahnya yang tersesat.
Hukum Tafsir bir-ra’yi al Madzmum: Menafsirkan Al Qur’an dengan ra’yu dan Ijtihad semata tanpa ada dasar yang shahih adalah haram. Allah berfirman :
وَلاَ تَقْفُ مَا لَيْسَ لَكَ بِهِ عِلْمٌ (الإ ســــراء: 36)
Artinya:
“Dan janganlah kamu mengikuti apa-apa yang kamu tidak mempunyai pengetahuan tentangnya”. (QS, Al Isra’: 36)
Firman Allah lagi:
قـُلْ إِنَّمَا حـَرَّمَ رَبِّيَ ٱلْفـَوَاحِشَ مَا ظَهَرَ مِنْهَا وَمَا بَطَنَ وَٱلإِثـْمَ وَٱلْبَغْيَ بِغَـيْرِ ٱلْحَقِّ وَأَن تـُشْــرِكـُواْ بِٱللّـَهِ مَا لَمْ يُنـَزِّلْ بِهِ سُلْـطَاناً وَأَن تَقـُولُواْ عَلَى ٱللّـَهِ مَا لاَ تَعْـلَمــُونَ (الأعراف: 33)
Artinya:
“Katakanlah: Tuhanku hanya mengharamkan perbuatan keji, baik yang tampak maupun yang tersembunyi, dan perbuatan dosa. Melanggar hak manusia tanpa alasan yang benar, (mengharamkan mempersekutukan Allah dengan sesuatu yang Allah tidak menurunkan hujjah untuk itu. Dan (mengharamkan) kamu mengatakan terhadap Allah dengan sesuatu yang tidak kamu ketahui.” (Al A’raf: 33)

Juga sabda Rasulullah saw:
عَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَنْ قَالَ فِي الْقُرْآنِ بِغَيْرِ عِلْمٍ فَلْيَتَبَوَّأْ مَقْعَدَهُ مِنْ النَّارِ قَالَ أَبُو عِيسَى هَذَا حَدِيثٌ حَسَنٌ صَحِيحٌ


Artinya:
“ Dari Ibnu Abbas Radhiyallahu ‘anhuma dia berkata, bersabda Rasulullah saw: “Barang siapa menafsirkan Al Qur’an dengan tanpa ilmu, maka siapkanlah tempatnya di neraka”.

3. Tafsir Isyari
Menurut kaum sufi setiap ayat mempunyai makna yang zahir dan batin. Yang zahir adalah yang segera mudah dipahami oleh akal pikiran sedangkan yang batin adalah yang isyarat-isyarat yang tersembunyi dibalik itu yang hanya dapat diketahui oleh ahlinya. Isyarat-isyarat kudus yang terdapat di balik ungkapan-ungkapan Al-Qur’an inilah yang akan tercurah ke dalam hati dari limpahan pengetahuan gaib yang dibawa ayat-ayat. Itulah yang biasa disebut tafsir Isyari.

4. Tafsir bil Izdiwaji ( Campuran )
Tafsir bil Izdiwaji disebut juga dengan metode campuran antara tafsir bil Matsur dan Tafsir bil Ra’yi yaitu menafsirkan Al-Qur’an yang didasarkan atas perpaduan antara sumber tafsir riwayat yang kuat dan shahih, dengan sumber hasil ijtihad akan pikiran yang sehat.

C. MACAM-MACAM TAFSIR BERDASARKAN METODENYA

1. Metode Tahlili (Analitik)
Metode Tahlili adalah metode menafsirkan Al-Qur’an yang berusaha menjelaskan Al-Qur’an dengan menguraikan berbagai seginya dan menjelaskan apa yang dimaksudkan oleh Al-Qur’an. Metode ini adalah yang paling tua dan paling sering digunakan. Tafsir ini dilakukan secara berurutan ayat demi ayat kemudian surat demi surat dari awal hingga akhir sesuai dengan susunan Al-Qur’an. Dia menjelaskan kosa kata dan lafazh, menjelaskan arti yang dikehendaki, sasaran yang dituju dan kandungan ayat, yaitu unsur-unsur I’jaz, balaghah, dan keindahan susunan kalimat, menjelaskan apa yang dapat diambil dari ayat yaitu hukum fikih, dalil syar’i, arti secara bahasa, norma-norma akhlak dan lain sebagainya.
Menurut Malik bin Nabi, tujuan utama ulama menafsirkan Al-Qur’an dengan metode ini adalah untuk meletakkan dasar-dasar rasional bagi pemahaman akan kemukzizatan Al-Qur’an, sesuatu yang dirasa bukan menjadi kebutuhan mendesak bagi umat Islam dewasa ini. Karena itu perlu pengembangan metode penafsiran karena metode ini menghasilkan gagasan yang beraneka ragam dan terpisah-pisah . Kelemahan lain dari metode ini adalah bahwa bahasan-bahasannya amat teoritis, tidak sepenuhnya mengacu kepada persoalan-persoalan khusus yang mereka alami dalam masyarakat mereka, sehingga mengesankan bahwa uraian itulah yang merupakan pandangan Al-Qur’an untuk setiap waktu dan tempat. Hal ini dirasa terlalu “mengikat” generasi berikutnya.

2. Metode Ijmali (Global)
Metode ini adalah berusaha menafsirkan Al-Qur’an secara singkat dan global, dengan menjelaskan makna yang dimaksud tiap kalimat dengan bahasa yang ringkas sehingga mudah dipahami. Urutan penafsiran sama dengan metode tahlili namun memiliki perbedaan dalam hal penjelasan yang singkat dan tidak panjang lebar. Keistimewaan tafsir ini ada pada kemudahannya sehingga dapat dikonsumsi oleh lapisan dan tingkatan kaum muslimin secara merata. Sedangkan kelemahannya ada pada penjelasannya yang terlalu ringkas sehingga tidak dapat menguak makna ayat yang luas dan tidak dapat menyelesaikan masalah secara tuntas.

3. Metode Muqarin
Tafsir ini menggunakan metode perbandingan antara ayat dengan ayat, atau ayat dengan hadits, atau antara pendapat-pendapat para ulama tafsir dengan menonjolkan perbedaan tertentu dari obyek yang diperbandingkan itu.

4. Metode Maudhu’i (Tematik)
Metode ini adalah metode tafsir yang berusaha mencari jawaban Al-Qur’an dengan cara mengumpulkan ayat-ayat Al-Qur’an yang mempunyai tujuan satu, yang bersama-sama membahas topik/judul tertentu dan menertibkannya sesuai dengan masa turunnya selaras dengan sebab-sebab turunnya, kemudian memperhatikan ayat-ayat tersebut dengan penjelasan-penjelasan, keterangan-keterangan dan hubungan-hubungannya dengan ayat-ayat lain kemudian mengambil hukum-hukum darinya.
By : http://ulumulstai.blogspot.com/2009/03/ilmu-tafsir.html

Ilmu Hadits

Ulumul Hadits adalah istilah ilmu hadis di dalam tradisi ulama hadits. (Arabnya: ‘ulumul al-hadist). ‘ulum al-hadist terdiri dari atas 2 kata, yaitu ‘ulum dan Al-hadist. Kata ‘ulum dalam bahasa arab adalah bentuk jamak dari ‘ilm, jadi berarti “ilmu-ilmu”; sedangkan al-hadist di kalangan Ulama Hadis berarti “segala sesuatu yang disandarkan kepada nabi SAW dari perbuatan, perkataan, taqir, atau sifat.” (Mahmud al-thahhan, Tatsir Mushthalah al-hadist (Beirut: Dar Al-qur’an al-karim, 1979), h.14) dengan demikian, gabungan kata ‘ulumul-hadist mengandung pengertian “ilmu-ilmu yang membahas atau berkaitan Hadis nabi SAW”.

Ilmu Hadis Riwayah

Menurut Ibn al-Akfani, sebagaimana yang dikutip oleh Al-Suyuthi, bahwa yang dimaksud Ilmu Hadis Riwayah adalah: Ilmu Hadis yang khusus berhubungan dengan riwayah adalah ilmu yang meliputi pemindahan (periwayatan) perkataan Nabi saw dan perbuatannya, serta periwayatannya, pencatatannya, dan penguraian lafaz-lafaznya. (Jalal al-din ‘Abd al-Rahman Ibn Abu Bakar al-Suyuthi, Tadrib al-Rawi fi Syarh Taqrib al-Nawawi. Ed. ‘Abdul Al-Wahhab’ Abd al-Lathif (Madinah: Al-Maktabat al-‘Ilmiyyah.cet kedua. 1392 H/ 1972 M), h. 42; Lihat juga M. Jammaluddin al-Qasimi, Qawa’id al-Tahdist min Funun wa Mushthalah al-Hadist (Kairo: Al-Bab al-Halabi, 1961). H. 75)

Sedangkan pengertian menurut Muhammad ‘ajjaj a-khathib adalah: Yaitu ilmu yang membahas tentang pemindahan (periwayatan) segala sesuatu yang disandarkan kepada Nabi saw, berupa perkataan, perbuatan, taqrir (ketetapan atau pengakuan), sifat jasmaniah, atau tingkah laku (akhlak) dengan cara yang teliti atau terperinci. (Lihat M.’Ajjaj al-Khathib, Ushul al-Hadits (Beirut: Dar al-Fikr, 1989), h.7.

Definisi yang hampir sama senada juga dikemukkan oleh Zhafar Ahmad ibn Lathif al-‘Utsmani al-Tahanawi di dalam Qawa’id fi ‘ulum al-Hadist, Ilmu hadis yang khusus dengan riwayah adalah ilmu yang dapat diketahui dengan perkataan, perbuatan dan keadaan Rasulullah saw serta periwayatan, pencatatan, dan penguraian lafaz-lafaznya. (Zhafar Ahmad ibn Lathif al-‘Utsmani al- Tahanawi, Qawa ‘id fi ‘ Ulum al-Hadist, Ed. ‘Abd al-Fattah Abu Ghuddah (Beirut: Maktabat al-Nahdhah, 1404 H/ 1984).h.22.).

Dari ketiga definisi di atas dapat dipahami bahwa Ilmu Hadis Riwayah pada dasarnya adalah membahas tentang tata cara periwayatan, pemeliharaan, dan penulisan atau pembukuan Hadis Nabi saw.

Objek kajian ilmu Hadis Riwayah adalah Hadis Nabi saw dari segi periwayatan dan pemeliharaannya. Hal tersebut mencakup:

* Cara periwayatan Hadis, baik dari segi cara penerimaan dan demikian juga dari cara penyampaiannya dari seorang perawi ke perawi lain;
* Cara pemeliharaan Hadis, yaitu dalam bentuk penghafalan, penulisan, dan pembukuannya.

Ilmu Hadis Riwayah ini sudah ada semenjak Nabi saw masih hidup, yaitu bersamaan dengan dimulainya periwayatan dengan hadis itu sendiri. Para Sahabat Nabi saw menaruh perhatian yang tinggi terhadap Hadis Nabi saw. Mereka berusaha untuk memperoleh Hadis-Hadis Nabi saw dengan cara mendatangi Majelis Rasul saw serta mendengar dan menyimak pesan atau nasihat yang disampaikan beliau. Sedemikian besar perhatian mereka, sehingga kadang-kadang mereka berjanji satu sama lainnya untuk bergantian menghadiri majelis Nabi saw. Tersebut, manakala di antara mereka ada yang sedang berhalangan. Hal tersebut seperti yang dilakukan Umar r.a., yang menceritakan, “Aku beserta tetanggaku dari kaum Ansar, yaitu Bani Umayyah ibn Zaid, secara bergantian menghadiri majelis Rasul saw. Apabila giliranku yang hadir, maka aku akan menceritakan kepadanya apa yang aku dapatkan dari Rasul SAW pada hari itu; dan sebaliknya, apabila giliran dia yang hadir, maka dia pun akan melakukan hal yang sama. (“Ajjaj al-Khathib, Ushul al-Hadits, h. 67).

Demikianlah periwayatan dan pemeliharaan Hadis Nabi saw berlangsung hingga usaha penghimpunan Hadis secara resmi dilakukan pada masa pemerintahan Khalifah ‘Umar ibn ‘Abd al-‘Aziz (memerintah 99 H/717 M- 124 H/ 742 M). Al-Zuhri dengan usahanya tersebut dipandang sebagai pelopor Ilmu Hadis Riwayah; dan dalam sejarah perkembangan Hadis, dia dicatat sebagai ulama pertama yang menghimpun Hadis Nabi saw atas perintah Khalifah ‘Umar ibn ‘abd al-Aziz.

Usaha penghimpunan, penyeleksian, penulisan, dan pembukuan Hadis secara besar-besaran terjadi pada abad ke 3 H yang dilakukan oleh para ulama, seperti Imam al-Bukhari, Imam Muslim, Imam Abu Dawud, Imam al-Tarmidzi, dan lain-lain. Dengan dibukukan Hadis-Hadis Nabi saw oleh para Ulama di atas, dan buku mereka pada masa selanjutnya telah jadi rujukan para Ulama yang datang kemudian, maka dengan sendirinya Ilmu Hadis Riwayah tidak banyak lagi berkembang.

Berbeda lagi dengan Ilmu Hadis Dirayah, pembicaraan dan perkembangannya tetap berjalan sejalan dengan perkembangan dan lahirnya sebagai cabang Ilmu Hadis. Dengan demikian, pada masa berikutnya apabila terdapat pembicaraan dan pengkajian tentang Ilmu Hadis Dirayah, yang oleh para Ulama disebut juga dengan ‘Ilm Mushthalah al-Hadist atau ‘Ilm Ushul al-Hadist.

Ilmu Hadis Dirayah

Ibn al-Akfani memberikan Ilmu Hadis Dirayah sebagai berikut: dan Ilmu Hadis yang khusus tentang Dirayah adalah ilmu yang bertujuan untuk mengetahui hakikat riwayat, syarat-syarat, macam-macam, dan hukum-hukumnya, keadaan para perawi, syarat-syarat mereka, jenis yang diriwayatkan, dan segala sesuatu yang berhubungan dengannya (Lihat al-Suyuthi, Tadrb al-Rawi h. 40; Lihat juga al-Qasimi, Qawa’id al-Tahdits, h.75.)

Uraian dan elaborasi dari definisi di atas diberikan oleh Imam al-Suyuthi, sebagai beikut: Hakikat riwayat, adalah kegiatan sunah (Hadis) dan penyandaran kepada orang yang meriwayatkannya dengan kalimat tahdits, yaitu perkataan seorang perawi “haddatsana fulan”, (telah menceritakan kepada kami si Fulan), atau Ikhbar, seperti perkataannya “akhbarana fulan”, (telah mengabarkan kepada kami si Fulan). (al-suyuthi. Tadrib al-Rawi, h. 40.)

Syarat-syarat riwayat, yaitu penerimaan para perawi terhadap apa yang diriwayatkannya dengan menggunakan cara-cara tertentu dalam penerimaan riwayat (cara-cara tahammul al-Hadits), seperti sama’ (perawi mendengarkan langsung bacaan Hadis dari seorang guru), qira’ah (murid membacakan catatan Hadis dari gurunya di hadapan guru tersebut), ijazah (memberi izin kepada seseorang untuk meriwayatkan suatu Hadis dari seorang ulama tanpa dibacakan sebelumnya), kepada seorang untuk diriwayatkan), kitabah (menuliskan Hadis untuk seseorang), munawalah, (menyerahkan suatu hadis yang tertulis kepada seseorang untuk diriwayatkan), kitabah, (menuliskan hadis untuk seseorang), i’lam (memberitahu seseorang bahwa Hadis-Hadis tertentu adalah koleksinya), washiyyat (mewasiatkan kepada seseorang koleksi hadis yang dikoleksinya), dan wajadah (mendapatkan koleksi tertentu tentang Hadis dari seorang guru). (M.M Azami, Studies ih Hadith Methologi and Literature.16: Mahmud al-thahhan. Taisir Mushthalah al-Hadist, h. 157-164)
Muttashil, yaitu periwayatan yang bersambung mulai dari perawi pertama sampai perawi terakhir, atau munqathi’, yaitu periwayatan yang terputus, baik di awal, di tengah, ataupun di akhir, dan lainnya.

Hukum riwayat, adalah al-qabul, yaitu diterimanya suatu riwayat karena telah memenuhi persyaratan tertentu, dan al-radd, yaitu ditolak, karena adanya persyaratan tertentu yang tidak terpenuhi.

Keadaan para perawi, maksudnya adalah, keadaan mereka dari segi keadilan mereka (al’adalah) dan ketidakadilan mereka (al-jarh). Syarat-syarat mereka, yaitu syarat-syarat yang harus dipenuhi oleh seorang perawi ketika mereka menerima riwayat (syarat-syarat pada tahammul) dan syarat ketika menyampaikan riwayat (syarat pada al-adda’).

Jenis yang diriwayatkan (ashnaf al-marwiyyat), adalah penulisan Hadis di dalam kitab al-musnad, al-mu’jam, atau al-ajza’ dan lainnya dari jenis-jenis kitab yang menghimpun Hadis Nabi saw. Definisi yang lebih ringkas namun komprehensif tentang Ilmu Hadis Dirayah dikemukakan oleh M. ‘Ajjaj al-Khathib, sebagai berikut : Ilmu Hadis Dirayah adalah kumpulan kaidah-kaidah dan masalah-masalah untuk mengetahui keadaan rawi dan marawi dari segi diterima atau ditolaknya. (M, ‘Ajjaj al-khathib, Ushul al- Hadits, h. 8 )

Al-khatib lebih lanjut menguraikan definisi di atas sebagai berikut: al-rawi atau perawi, adalah orang yang meriwatkan atau menyampaikan Hadis dari satu orang kepada yang lainnya; al-marwi adalah segala sesuatu yang diriwayatkan, yaitu segala sesuatu yang disandarkan kepada Nabi saw atau kepada yang lainnya, seperti sahabat atau yang lainnya Tabi’in; keadaan perawi dari segi diterima atau ditolaknya adalah, mengetahui keadaan para perawi dari segi jarh dan ta’dil ketika tahammul dan adda’ al-Hadist, dan segala sesuatu yang berhubungan dengannya dalam kaitannya dengan periwayatan Hadis; keadaan marwi adalah segala sesuatu yang berhubungan dengan ittishal al-sanad (persambungan sanad) atau terputusnya, adanya ‘illat atau tidak, yang menentukan diterima atau ditolaknya suatu Hadis.

Objek kajian atau pokok bahasan Ilmu Hadis Dirayah ini, berdasarkan definisi di atas, adalah sanad dan matan Hadis.

Pembahasan tentang sanad meliputi: (i) segi persambungan sanad (ittishal al-sanad), yaitu bahwa suatu rangkaian sanad Hadis haruslah bersambung mulai dari Sahabat sampai pada Periwayat terakhir yang menuliskan atau membukukan Hadis tersebut; oleh karenanya, tidak dibenarkan suatu rangkaian sanad tersebut yang terputus, tersembunyi, tidak diketahui identitasnya atau tersamar: (ii) segi kepercayaan sanad (tsiqat al-sanad), yatu setiap perawi yang terdapat di dalam sanad suatu Hadis harus memiliki sifat adil dan dhabith (kuat dan cermat hafalan atau dokumentasi Hadisnya ); (iii) segi keselamatan dan kejanggalan (syadz); (iv) keselamatan dan cacat (‘illat); dan (v) tinggi dan rendahnya martabat suatu sanad.

Sedangkan pembahasan mengenai matan adalah meliputi segi ke-shahih-an atau ke dhaifan-nya. Hal tersebut dapat dilihat dari kesejalananya dengan makna dan tujuan yang terkandung di dalam al-quran, atau selamatnya: (i) dari kejanggalan redaksi (rakakat al-faz); (ii) dari cacat atau kejanggalan dari maknanya (fasad al- ma’na), karena bertentangan dengan akal dan panca indera, atau dengan kandungan dan makna Al-Qur’an, atau dengan fakta sejarah; dan(iii) dari kata-kata asing (gharib), yaitu kata-kata yang tidak bisa dipahami berdasarkan maknanya yang umum dikenal.

Tujuan dan urgensi Ilmu Hadis Dirayah adalah untuk mengetahui dan menetapkan Hadis-Hadis yang maqbul (yang dapat diterima sebagai dalil atau untuk diamalkan) dan yang mardud (yang ditolak).

Ilmu Hadis Dirayah inilah yang pada masa selanjutnya secara umum dikenal dengan Ulumul Hadis, mushthalah al-Hadits, atau Ushul al-Hadits. Keseluruhan nama-nama di atas, meskipun bervariasi, namun mempunyai arti dan tujuan yang sama, yaitu ilmu yang membahas tentang kaidah-kaidah untuk mengetaui keadaan perawi (sanad) dan marwi (matan) suatu Hadis, dari segi diterima dan ditolaknya. (Ibid., h. 9.)

Para ulama Hadis membagi Ilmu Hadis Dirayah atau Ulumul Hadis ini kepada beberapa macam, berdasarkan kepada permasalahan yang dibahas padanya, seperti pembahasan tentang pembagian Hadis Shahih, Hasan, Dan Dha’if, serta macam-macamnya, pembahasan tentang tata cara penerimaannya (tahmmul) dan periwayatan (adda’) Hadis, pembahasan al-jarih dan al-ta’dil serta tingkatan-tingkatannya, pembahasan tentang perawi, latar belakang kehidupannya, dan pengklasikasiannya antara yang tsiqat dan yang dha’if, dan pembahasan lainnya. Masing-masing pembahasan di atas dipandang sebagai macam-macam dari Ulumul Hadis, sehingga, karena banyaknya, Imam al-Suyuthi menyatakan bahwa macam-macam Ulumul Hadis tersebut banyak sekali, bahkan tidak terhingga jumlahnya. (Ibd, h. 11, lihat juga Tadrib al-rawi, h. 53 ). Ibn al-Shaleh menyebutkan ada 65 macam Ulumul Hadis, sesuai dengan pembahasannya, seperti yang dikemukakan di atas. (Abu ‘Amr Ibn al-Shaleh, ‘ulum al-hadits, ed. Nur al-Din ‘Atr (Madinah: Maktabat al-Ilmiyyah, 1972), h 5-10).
By : http://attanzil.wordpress.com/2008/08/05/ulumul-hadits/

Siroh Nabawiyah

Tempat-tampat Bersejarah di Mekah Madinah

Tempat Bersejarah

Ka’bah

Ka’bah merupakan kiblat shalat umat Islam. Ka’bah yang berbentuk kubus ini merupakan bangunan utama diatas bumi yang digunakan untuk menyembah Allah SWT.Sebagaimana Allah SWT. berfirman dalam Al Qur’an Surat Ali Imran ayat 90, yang artinya :

“Sesungguhnya permulaan rumah yang dibuat manusia untuk tempat beribadah adalah rumah yang di Bakkah (Makkah), yang dilimpahi berkah dan petunjuk bagi alam semesta”.

Ka’bah disebut juga Baitullah (Rumah Allah) atau Baitul ‘Atiq (Rumah Kemerdekaan). Dibangun berupa tembok segi empat yang terbuat dari batu-batu besar yang berasal dari gunung-gunung di sekitar Makkah. Baitullah ini dibangun diatas dasar fondasi yang kokoh.

Dinding-dinding sisi Ka’bah ini diberi nama khusus yang ditentukan berdasarkan nama negeri ke arah mana dinding itu menghadap. terkecuali satu dinding yang diberi nama “Rukun Hajar Aswad”.

Adapun keempat dinding atau sudut (rukun) tersebut adalah :

*
Sebelah Utara Rukun Iraqi (Irak)
*
Sebelah Barat Rukum Syam (Suriah)
*
Sebelah Selatan Rukun Yamani (Yaman)
*
Sebelah Timur Rukun Aswad (Hajar Aswad).

Keempat sisi Ka’bah ditutup dengan selubung yang dinamakan Kiswah. Sejak zaman nabi Ismail, Ka’bah sudah diberi penutup berupa Kiswah ini. Saat ini Kiswah tersebut terbuat dari sutra asli dan dilengkapi dengan kaligrafi dari benang emas.

Dalam satu tahun Ka’bah ini dicuci dua kali, yaitu pada awal bulan Dzulhijah dan awal bulan Sya’ban. Kiswah diganti sekali dalam setahun.

Masjidil Haram

Sebagai pusat kota Makkah adalah Masjid Al-Haram, dimana didalamnya terdapat Ka’bah sebagai arah kiblat umat Islam pada waktu shalat. Masjid ini mula-mula dibangun secara permanen oleh Sayyidina Umar bin Al Khattab pada tahun 638 M.

Dari masa kemasa Masjidil Haram selalu mengalami pembaharuan dan perluasan, diprakarsai oleh raja-raja Islam yang memberi perhatian terhadap Masjidil Haram. Pembangunan besar-besaran dalam sejarah diprakarsai oleh Raja Fahd bin Abdul Aziz yang bergelar :”Pelayan Dua Tanah Haram Makkah dan Madinah”.

Dikatakan Tanah Haram karena Tanah ini diharamkan bagi umat lain, selain umat Muslim). Saat ini luas Masjid Al Haram 328.000 meter persegi dan dapat menampung 730.000 jama’ah dalam satu waktu shalat berjama’ah.

Masjid ini melingkari Ka’bah, maka pintunya banyak. Ada 4 pintu utama dan 45 pintu biasa yang biasanya buka 24 jam sehari.

Keistimewaan Masjidil Haram banyak sekali, antara lain : Shalat di masjid ini lebih utama daripada shalat seratus ribu kali di masjid lain. Begitupun berdzikir, berdoa, bersedekah dan beramal baik lainnya.

Hajar Aswad

Hajar Aswad adalah batu berwarna hitam yang berada di sudut Tenggara Ka’bah, yaitu sudut dimana tempat Tawaf dimulai. Hajar Aswad merupakan batu yang diturunkan Allah SWT. dari Surga melalui malaikat Jibril.

Hajar Aswad berupa kepingan batu yang terdiri dari delapan keping yang terkumpul dan direkat dengan lingkaran perak.

Dalam salah satu riwayat Bukhari-Muslim, diterangkan bahwa Sayyidina Umar, sebelum mencium Hajar Aswad mengatakan, “Demi Allah, aku tahu bahwa kau adalah sebuah batu yang tidak dapat berbuat apa-apa.Kalau aku tidak melihat Rasulullah SAW. mencium-mu, tidak akan aku menciummu”.

Jadi mencium Hajar Aswad bukanlah suatu kewajiban bagi umat Islam, tapi merupakan anjuran dan hukumnya sunnah. Maka kalau keadaan tidak memungkinkan karena penuhnya orang berdesakan, sebaiknya urungkan saja niat untuk mencium atau mengusap batu ini.

Hijr Ismail

Hijr Ismail, berdampingan dengan Ka’bah dan terletak di sebelah utara Ka’bah, yang dibatasi oleh tembok berbentuk setengah lingkaran setinggi 1,5 meter. Hijr Ismail itu pada mulanya hanya berupa pagar batu yang sederhana saja. Kemudian para Khalifah, Sultan dan Raja-raja yang berkuasa mengganti pagar batu itu dengan batu marmer.

Hijr Ismail ini dahulu merupakan tempat tinggal Nabi Ismail, disitulah Nabi Ismail tinggal semasa hidupnya dan kemudian menjadi kuburan beliau dan juga ibunya.

Berdasarkan kepada sabda Rasulullah Sallallahu ‘Alaihi Wasallam, sebagian dari Hijr Ismail itu adalah termasuk dalam Ka’bah. Ini diriwayatkan oleh Abu Dawud dari ‘Aisyah r.a. yang berbunyi : ‘Dari ‘Aisyah r.a. katanya; “Aku sangat ingin memasuki Ka’bah untuk melakukan shalat didalamnya. Rasulullah S.A.W. membawa Siti ‘Aisyah ke dalam Hijir Ismail sambil berkata ” Shalatlah kamu disini jika kamu ingin shalat di dalam Ka’bah, karena ini termasuk sebagian dari Ka’bah.

Shalat di Hijr Ismail adalah sunnah, dalam arti tidak wajib dan tidak ada kaitan dengan rangkaian kegiatan ibadah Haji atau ibadah Umroh.

Maqam Ibrahim

Maqam Ibrahim bukanlah kuburan Nabi Ibrahim sebagaimana dugaan atau pendapat sebagian orang. Maqam Ibrahim adalah batu pijakan pada saat Nabi Ibrahim meninggikan pondasi Ka’bah. Letak Maqam Ibrahim ini tidak jauh, hanya sekitar 3 meter dari Ka’bah dan terletak di sebelah timur Ka’bah.

Saat ini Maqam Ibrahim seperti terlihat pada foto di atas. Di dalam bangunan kecil ini terdapat batu tempat pijakan Nabi Ibrahim seperti dijelaskan di atas. Pada saat pembangunan Ka’bah batu ini berfungsi sebagai pijakan yang dapat naik dan turun sesuai keperluan nabi Ibrahim saat membangun Ka’bah. Bekas kedua tapak kaki Nabi Ibrahim masih nampak dan jelas dilihat.

Atas perintah Khalifah Al Mahdi Al Abbasi, di sekeliling batu Maqam Ibrahim itu telah diikat dengan perak dan dibuat kandang besi berbentuk sangkar burung.

Multazam

Multazam merupakan dinding Ka’bah yang terletak di antara Hajar Aswad dengan pintu Ka’bah. Tempat ini merupakan tempat utama dalam berdoa, yang dipergunakan oleh jama’ah Haji dan Umroh untuk berdoa/bermunajat kepada Allah SWT. setelah selesai melakukan tawaf.

Saat bermunajat di depan Multazam ini, Jarang orang tidak meneteskan air mata disini, terharu karena kebesaran Illahi. Multazam ini insya Allah merupakan tempat yang mustajab dalam berdoa, insya Allah doa dikabulkan oleh Allah SWT.

Rasulullah SAW bersabda, “Antara Rukun Hajar Aswad dan Pintu Ka’bah, yang disebut Multazam. Tidak seorangpun hamba Allah yang berdoa ditempat ini tanpa terkabul permintaannya.”

Mata Air Zam-Zam

Air Zamzam berasal dari mata air Zamzam yang terletak dibawah tanah, sekitar 20 meter disebelah Tenggara Ka’bah. Mata air atau Sumur ini mengeluarkan Air Zamzam tanpa henti. Diamanatkan agar sewaktu minum air Zamzam harus dengan tertib dan membaca niat. Saat minum air Zamzam kita menghadap Ka’bah.

Sumur Zamzam mempunyai riwayat yang tersendiri. Sejarahnya tidak dapat dipisahkan dengan isteri Nabi Ibrahim AS, yaitu Siti Hajar dan putranya Ismail AS. Sewaktu Ismail dan Ibunya hanya berdua dan kehabisan air untuk minum, maka Siti Hajar pergi ke Bukit Safa dan Bukit Marwah sebanyak 7 kali. Namun tidak berhasil menemukan air setetespun karena tempat ini hanya merupakan lembah pasir dan bukit-bukit yang tandus dan tidak ada air dan belum didiami manusia selain Siti Hajar dan Ismail.

Penjelasan tentang sejarah ini adalah sbb :

Saat Nabi Ibrahim AS, Siti Hajar dan Ismail tiba di Makkah, mereka berhenti di bawah sebatang pohon yang kering. Tidak berapa lama kemudian Nabi Ibrahim AS. meninggalkan mereka.

Siti Hajar yang memperhatikan sikap suaminya yang mengherankan itu lalu bertanya ; “Hendak kemanakah engkau, Ibrahim? Sampai hatikah engkau meninggalkan kami berdua ditempat yang sunyi dan tandus ini?”.

Pertanyaan itu berulang kali, tetapi Nabi Ibrahim AS. tidak menjawab sepatah kata pun. Siti Hajar bertanya lagi ; “Apakah ini memang perintah dari Allah? “Barulah Nabi Ibrahim menjawab, “ya”. Mendengar jawaban suaminya yang singkat itu, Siti Hajar gembira dan hatinya tenteram. Ia percaya hidupnya tentu terjamin walaupun ditempat yang sunyi, tidak ada manusia dan tidak ada segala kemudahan. Sedangkan waktu itu, Nabi Ismail masih menyusu.

Selang beberapa hari, air yang dari Nabi Ibrahim As. habis. Siti Hajar berusaha mencari air di sekeliling sampai mendaki Bukit Safa dan Marwah berulang kali sehingga kali ketujuh (terakhir) ketika sampai di Marwah, tiba-tiba terdengar oleh Siti Hajar suara yang mengejutkan, lalu ia menuju kearah suara itu. Alangkah terkejutnya, bahwa suara itu ialah suara air yang memancar dari dalam tanah dengan derasnya. Air itu adalah air Zamzam.

Air Zamzam yang merupakan berkah dari Allah SWT, mempunyai keistimewaan dan keberkatan dengan izin Allah SWT., yang bisa menyembuhkan penyakit, menghilangkan dahaga serta mengenyangkan perut yang lapar. Keistimewaan dan keberkatan itu disebutkan pada hadits Nabi, dari Ibnu Abbas r.a., Rasulullah SAW. bersabda : “sebaik-baik air di muka bumi ialah air Zamzam. Air Zamzam merupakan makanan yang mengenyangkan dan penawar bagi penyakit”.

Safa dan Marwah

Safa dan Marwah merupakan dua bukit yang terletak dekat dengan Ka’bah. Sejarah Safa-Marwah tidak dapat dipisahkan dengan isteri Nabi Ibrahim As, yaitu Siti Hajar dan putranya Ismail As. Sewaktu Ismail dan Ibunya hanya berdua dan kehabisan air untuk minum di lembah pasir dan bukit yang tandus, Siti Hajar pergi mencari air pulang pergi dari Bukit Safa ke Bukit Marwah sebanyak 7 kali.

Saat kali ketujuh (terakhir). Ketika sampai di Marwah, tiba-tiba terdengar oleh Siti Hajar suara yang mengejutkan, lalu ia menuju kearah suara itu. Alangkah terkejutnya, bahwa suara itu ialah suara air memancar dari dalam tanah dengan derasnya. Air itu adalah air Zamzam.

Masjid Nabawi

Disebut Masjid Nabawi karena Nabi Muhammad SAW. selalu menyebutnya dengan kalimat, “Masjidku”, pada setiap kali beliau menerangkan tentang sebuah masjid yang sekarang berada di pusat kota Madinah. Rasulullah bersabda, “Shalat di masjidku ini lebih utama daripada shalat seribu kali di masjid lain, kecuali Masjidil Haram”.

Dalam satu riwayat lain, Rasulullah bersabda, “Barang siapa shalat di masjidku 40 waktu tanpa terputus, maka ia pasti selamat dari neraka dan segala siksa dan selamat dari sifat munafik”.

Masjid ini didirikan oleh Rasul SAW. dan sahabat-sahabat pada tahun pertama hijrah (622 M) seluas 1050 meter persegi, yaitu persis di sebelah barat rumah Rasul, yang sekarang rumah itu menjadi makam Rasul SAW dan termasuk dalam bangunan masjid.

Berziarah ke masjid Nabawi ini adalah masyru’ (diperintahkan) dan termasuk ibadah. Penyataan ini sesuai dengan sabda Rasulullah : “Janganlah kau mementingkan bepergian kecuali kepada tiga masjid, yaitu Masjidil Haram, Masjidku ini (Masjid Nabawi) dan Masjidil Aqsa”.

Makam Rasulullah SAW

Makam (pusara) Rasullullah SAW terletak di sebelah Timur Masjid Nabawi. Di tempat ini dahulu terdapat dua rumah, yaitu rumah Rasulullah SAW. bersama Aisyah dan rumah Ali dengan Fatimah.

Sejak Rasulullah SAW. wafat pada tahun 11 H (632 M), rumah Rasullullah SAW. terbagi dua. Bagian arah kiblat (Selatan) utk makam Rasulullah SAW. dan bagian Utara utk tempat tinggal Aisyah.

Sejak tahun 678 H. (1279 M) diatasnya dipasang Kubah Hijau (Green Dome). Dan sampai sekarang Kubah Hijau tersebut tetap ada. Jadi tepat di bawah Kubah Hijau itulah jasad Rasullullah SAW. yang mulia dimakamkan. Disitu juga dimakamkan kedua sahabatnya, yaitu Abu Bakar (Khalifah Pertama) dan Umar (Khalifah Kedua) yang dimakamkan di bawah kubah, berdampingan dengan makam Rasulullah SAW.

Arafah

Arafah merupakan tempat yang sangat penting pada ibadah Haji, dimana di Arafah ini jama’ah haji harus melakukan Wukuf. Wukuf merupakan rukun Haji dan tanpa melaksanakan Wukuf di Arafah maka hajinya tidak sah.

Keadaan di Arafah ini merupakan replika di Padang Mahsyar saat manusia dibangkitkan Allah SWT pada hari yang tak diragukan lagi. Saat itu semua manusia sama dihadapan Allah SWT., yang membedakan hanyalah kualitas imannya.

Wukuf secara harfiah berarti berdiam diri. Wukuf di Arafah adalah berada di Arafah pada waktu antara tergelincirnya matahari (tengah hari) tanggal 9 Dzulhijah sampai matahari terbenam dengan berpakaian ihram. Pada saat wukuf disarankan untuk memperbanyak doa sambil menghadap kiblat dan mengangkat kedua tangan. Juga memperbanyak taubat memohon ampunan kepada Allah SWT., sebab saat wukuf adalah saat yang utama untuk berdoa, memohon ampun dan bertaubat.

Selain itu juga perbanyak ibadah lainnya seperti membaca Al Qur’an, takbir, tahmid, tahlil dan sebagainya. Selama wukuf jangan sampai melakukan sesuatu yang tidak pantas atau tidak sesuai dengan kesucian ibadah saat Wukuf.

Adapun keutamaan Arafah adalah sebagaimana sabda Rasulullah SAW., “Doa yang paling baik adalah doa di hari Arafah”.

Dalam riwayat lain Rasulullah SAW. juga bersabda, “Tidak ada hari paling banyak Allah menentukan pembebasan hamba-Nya dari neraka kecuali hari Arafah”.

Arafah berjarak sekitar 25 km disebelah Tenggara Makkah dan merupakan padang pasir yang amat luas dan di bagian belakang dikelilingi bukit-bukit batu yang membentuk setengah lingkaran, saat ini sudah ditanami dengan pohon-pohon.

Pada musim haji di bawah pohon-pohon inilah dipasang tenda. bagi yang tidak kebagian tenda cukup berteduh di bawah pohon. Untuk mengurangi panas di setiap sekitar 20 meter dipasang pipa setinggi 6 meter yang diatasnya memancar air halus yang mirip gerimis, dengan tujuan menurunkan suhu disekitarnya.

Pancaran air ini sangat bermanfaat dan dapat mengurangi banyaknya jama’ah yang terkena high stroke (tiba-tiba lemas karena matahari yang panas)

Muzdalifah

Setelah matahari terbenam (mulai masuk tanggal 10 Dzulhijah), dari Arafah berangkat ke Muzdalifah. Shalat Maghrib dan Isya dikerjakan di Muzdalifah dengan cara jama’ takhir qashar.

Muzdalifah terletak antara Arafah dan Mina. Di Muzdalifah ini jama’ah haji bermalam (mabit) dan mengambil 70 atau 49 butir batu kecil untuk persiapan lempar jumroh di Mina. Shalat Subuh dilaksanakan berjama’ah di Muzdalifah.

Setelah shalat subuh, meninggalkan Muzdalifah menuju Mina untuk melempar jumroh. Bagi orang tua dan yang lemah/sakit boleh meninggalkan Muzdalifah pada malam hari setelah lewat tengah malam baru menuju Mina.

Mina

Mina merupakan lokasi di Tanah Haram Makkah (Tanah yang diharamkan bagi orang selain Muslim). Mina didatangi oleh jama’ah haji pada tanggal 8 Dzulhijah atau sehari sebelum wukuf di Arafah. Jama’ah haji tinggal disini sehari semalam sehingga dapat melakukan shalat Dzuhur, Ashar, Maghrib, Isya dan Subuh. Kemudian setelah shalat Subuh tanggal 9 Dzulhijah, jama’ah haji berangkat ke Arafah. Amalan seperti ini dilakukan Rasulullah SAW. saat berhaji dan hukumnya sunnah. Artinya tanggal 9 Dzulhijah sebelum ke Arafah, tidak wajib bermalam di Mina.

Jama’ah haji datang lagi ke Mina setelah selesai melaksanakan Wukuf di Arafah. Jama’ah haji ke Mina lagi karena akan melempar jumroh. Di Mina ini, pada malam hari tidur dan pada siang hari melempar jumroh. Yaitu tanggal 10, 11, 12 Dzulhijah bagi jama’ah haji yang melaksanakan Nafar Awal atau tanggal 10, 11, 12, 13 dzulhijah bagi jama’ah yang melaksanakan Nafar Tsani. Untuk tanggal di atas, amalan bermalam dan melempar jumroh merupakan amalan wajib haji (yang jika tidak dilakukan, harus membayar dam atau denda).

Pada hari-hari biasa, Mina kosong tidak berpenduduk, walaupun terlihat bangunan permanen. Namun pada tanggal 10 Dzulhijah dan beberapa hari sebelumnya dipadati para jama’ah haji.

Tanah di Mina tidak boleh dimiliki oleh perorangan, yang boleh adalah menempati untuk keperluan ibadah saja. Sesuai dengan riwayat isteri nabi, Aisyah ra., “Ya Rasullullah SAW., perlukah kami buatkan di Mina untuk anda berteduh?”, Rasulullah SAW. menjawab, “Jangan, sesungguhnya Mina adalah tempat duduk orang yang lebih dahulu datang”.

Tempat atau lokasi melempar jumroh terdapat di Mina, yaitu Jumrah Aqabah, Jumrah Wusta dan Jumrah Ula.

Mina juga merupakan tempat atau lokasi penyembelihan binatang kurban. Di Mina ada mesjid Khaif, merupakan masjid dimana Rasulullah SAW. melakukan shalat dan khutbah ketika berada di Mina saat melaksanakan ibadah Haji.
By : http://sirahnabawiyah.wordpress.com/

Tarikh

Tarikh (sejarah) bagi suatu bangsa merupakan hal yang sangat berharga dan menjadi sesuatu yang harus dijaga keabsahannya. Termasuk kita, bangsa Islam yang tak mengenal batasan territorial untuk mengakui kebangsaan kita yang mulia ini. Bicara tarikh (sejarah), maka terngiang di telinga saya pada kenangan sebelas tahun lalu ketika saya masih duduk di bangku sekolah dasar, “Jas Merah, ‘jangan sekali-sekali melupakan sejarah,’” pesan guru mata pelajaran Ilmu Pengetahuan Sosial saya kala itu, Bapak Imam Safingi. Dan memang, sejarah tak terpungkiri merupakan harta yang berharga manakala suatu bangsa ingin membangun peradaban yang jauh lebih baik dan mulia di masa kini dan masa depan dibanding pada masa lalunya.

Memang, tarikh bukanlah sesuatu yang ada untuk dilupakan, meski ia terjadi di masa lampau yang tak mungkin kita bisa kembali hadir di dalmnya. Tarikh (sejarah) yang pernah dilalui tentulah bisa menjadi tempat berkaca bagi para pelakunya, menjadi tempat rujukan dan perbandingan atas penyikapan yang harus diambil di masa kini, serta menjadi sumber hikmah yang berharga jika kita mau memilah dan memilih. Al-Ustadz Ruwaifi’ bin Sulaimi menuliskan dalam sebuah risalahnaya, tarikh tak bisa dipisahkan dari kehidupan umat manusia. Ia ibarat buku harian yang mengoleksi berbagai peristiwa penting dalam perjalanan hidup mereka. Dari tarikh, baik buruknya perjalanan suatu umat terungkap. Dari sejarah pula, eksistensi suatu umat -dalam setiap generasinya- teridentifikasi.

Maka, keabsahan dan validitasnya adalah hal yang demikian penting untuk dijaga, dari pergeseran makna kisah-kisahnya, atau bahkan dari pemutarbalikan fakta yang justru mampu mengeruhkan pemahaman berbagai pihak, termasuk generasi-generasi penerus yang kelak akan menjadi pelaku sejarah di kemudian masa. Penggeseran makna kisah berikut pemutarbalikan fakta sejarah memang menjadi senjata yang ampuh untuk menghancurkan suatu bangsa dan peradaban. Kedustaan-kedustaan yang dituangkan dalam pemaparan fakta sejarah, baik sengaja atau pun tidak, adalah hal yang umumnya berpotensi melemahkan semangat, menumbuhkan bibit kebencian dan kedengkian, kerancuan aqidah dan pemahaman, keraguan akan kebenaran dan pembenaran atas kesalahan, dan dampak buruk lainnya bagi pemahaman yang ditangkap oleh pembaca.

Apa yang dipahami pembaca bisa menjadi rancu dan tidak sesuai dengan fakta yang sebenarnya. Bisa karena memang ada pemutarbalikan fakta dengan sengaja oleh pihak musuh, kesalahan dalam pemaparan karena diksi (pemilihan kata), kesalahan sumber dan hujjah yang dijadikan landasan, atau bisa juga karena faktor intelektualitas serta cara pandang dan penarikan simpulan.

Antara Diksi dan Relativitas Sudut Pandang

Berawal dari sebuah komentar singkat yang memperbandingkan makna dari kata ‘penaklukan’ dan ‘pembebasan’. Dua kata yang memang memiliki arti yang berbeda jika ditelusur dari akar katanya, secara bahasa. Yang pertama lebih menjurus pada kemampuan untuk menjadi pihak yang lebih unggul dibandingkan pihak yang lain, karena mampu menjadikan pihak yang lainnya takluk, satu kondisi dimana ada ‘ketundukan dan kesediaan memenuhi keinginan’. Kata yang lainnya lebih bermakna pada kemampuan untuk menjadikan sesuatu yang semula terikat dan terkekang menjadi lebih ‘longgar’.

Ketika kita melibatkan perasaan dalam memaknai kedua kata tersebut, maka kata yang pertama akan mengiring ingatan kita pada kondisi kemenangan atas pihak lain, dan menjadikan pihak lain itu sebagai pihak yang kalah. Sementara pada kata yang kedua, perasaan kita akan digiring pada ilustrasi penyelamatan terhadap satu pihak yang sebelmnya merupakan pihak yang berada dalam cengkeraman pihak yang lain. Antara superioritas dan kepahlawanan.

Dalam sebuah penulisan dan pemaparan fakta sejarah (tarikh), tidak dipungkiri bahwa diksi (pemilihan kata) adalah salah satu hal penting yang harus diperhatikan. Kesalahan dalam diksi bisa bukan tak mungkin mampu melahirkan berbedaan persepsi antara apa yang sejatinya ingin dipaparkan oleh penulis, dengan apa yang pada akhirnya ditangkap oleh pembaca atas tulisan tersebut, disimpulkan, kemudian dijadikannya sebagai landasan berfikir selanjutnya. Dalam pemaparan tarikh, diksi menjadi hal yang sangat sensitif, manakala dikaitkan dengan latar belakang sang penulis. Hal yang sama bisa menjadi dua bahkan lebih versi pengisahannya, bahkan terdapat pemaparan yang justru saling bertolak belakang.

Perbedaan makna atas ‘penaklukan’ dan ‘pembebasan’ bagi sebagian orang memang menjadi hal yang terabaikan, toh pada intinya pihak ‘yang menang’ dan ‘yang kalah’ adalah sama. Namun, bagi sebagian orang yang lain, hal ini menjadi penting ketika dikaitkan dengan hal lain, misalnya kemanusiaan dan hak asasi. Sebagai contoh, penggunaan kata penaklukan, ketika ekspansi da’wah islam ke luar Jazirah Arab, yang dilakukan dibawah komando Khalid ibn Walid ke daerah Iraq dan Syam. Inti dari kisahnya adalah pasukan muslim berhasil menang dan menduduki sebagian dari wilayah Iraq yang semula ada dibawah kekuasaan Persia.

Maka, penggunaan kata ‘penaklukan’ akan menggiring mindset pada keperkasaan tentara muslim, dengan izin Allah subhanahu wata’ala tentu, yang dengan kegigihan dan keistiqamahan mereka mampu memenangkan pertempuran. Namun ternyata, kelanjutannya manjadi berbeda manakala justru istilah ‘penaklukan’ itu dimaknai bahwa tentara muslim adalah pihak yang keji yang demi memperluas kekuasaan dan pengaruhnya, begitu tega dan murah menumpahkan darah dalam penaklukan demi penaklukan yang dilakukannya.

Lain lagi pandangan dan ‘feeling’ sang pembaca ketika digunakan kata ‘pembebasan’ sebagai spesifikasi atas ekspansi tersebut. Yang terilustrasikan tentulah akan cenderung pada kondisi dimana wilayah-wilayah Iraq itu semula berada dalam cengkeraman (tentu hal yang negatif, misalnya ketertindasan) Persia dan kemudian tentara muslim datang sebagai ’penyelamat’. Penyelamatan disini tak hanya sebatas penyelamatan dzahir terhadap penduduk wilayah tersebut dari ketertindasan fisik, tapi juga pembebasan aqidah mereka, pengembalian jiwa pada fitrahnya sebagai penyembah Allah ta’ala, bukan penyembah api, berhala, maupun hewan dan dewa-dewa. Pembebasan dari keterbelengguan terhadap gulitanya kehidupan jahili menuju cahaya rabbani yang menentramkan.

Ahh, jika dikata ini hanya masalah bedanya sudut pandang dan penafsiran, maka tentulah yang paling berpotensi menyulut adalah diksinya.

Sumber Rujukan yang Jernih dan Menjernihkan

Salah satu cendekiawan muslim yang tersohor dengan karya-karya besarnya, al Hafizh Ibnu Katsir berkata, “Kami tidak akan menyebutkan riwayat-riwayat israiliyyat, kecuali yang telah diizinkan syariat untuk dinukil yang tidak menyelisihi Al Qur’an dan Sunnah Rasul-Nya Shalallahu’alyhi wassalam, dan inilah bagian dari hal-hal yang tidak boleh dibenarkan atau didustakan, yang biasanya menceritakan secara lebih luas berita-berita ringkas yang terdapat di dalam agama kita, seperti penyebutan nama yang tidak disebutkan dalam syariat kita, yang hakikatnya tidak begitu penting untuk diketahui detailnya, maka dalam hal ini kami akan sebutkan sebagai pelengkap saja, bukan sebagai hujjah yang akan dijadikan sebagi landasan, sebab sandaran sebenarnya hanyalah Al Qur’an yang mulia dan riwayat-riwayat yang dinukil secara shahih ataupun hasan, sedangkan riwayat-riwayat yang lemah akan kami jelaskan kelemahannya.”

Perkataan cendekiawan besar itu dituangkan dalam karya luhurnya, Bidayah Wan Nihayah. Apa yang dilakukannya adalah demi mempertahankan kemurnian tarikh dari penyelewengan dan pengkhianatan terhadap fakta yang ada. Pemaparan tarikh haruslah sedemikian hati-hati mengingat besarnya pengaruh dan akibat yang ditimbulkan dikemudian hari.

Referensi yang absah untuk dijadikan rujukan adalah Al Qur’an al Kariim dan kitab-kitab Tafsir bi Al Ma’tsur (tafsir dengan atsar maupun hadits) berikut kitab-kitab Asbab an-Nuzul. Selanjutnya adalah hadits-hadits Rasulullah shalallahu’alayhi wassalam, baik yang termaktub dalam kitab shahih, sunan, musnad, maupun jami’. Selain Qur’an dan hadits, penulisan tarikh juga bisa merujuk pada atsar yang dinukil dari perkataan para shahabat dan tabi’in. Karena bersumber dari lisan yang berbeda, tentunya pula dengan perbedaan kualitas keilmuan dari amsingmasing shahabat dan thabi’in, tak dipungkiri jika satu kejadian memiliki banyak versi.

Pemaparan dalam berbagai versi memang kita lazimi sebagai akibat dari banyaknya periwayatan yang dijadikan rujukan, yang tentunya dari masing-masing riwayat memiliki kualitas yang berbeda baik secara sanad maupun matannya. Biasanya hal semacam ini, dalam ‘ulumul hadits, akan diselesaikan dengan jalan pengkompromian di antara riwayat-riwayat tersebut. Namun demikian, seiring dengan perguliran zaman yang diiringi dengan pergesekan antar ideologi, firqah, mahzab, dan berbagai ragam pemikiran baru yang seolah siap menggerus kemurnian akal dan jiwa manusia, kualitas atas suatu pemaparan fakta sejarah menjadi hal yang kadang diragukan keabsahannya. Tentu hal ini lekat kaitannya dengan beragam kepentingan yang memang menjadi hal yang terhindarkan.

Selanjutnya, jika kita menilik pada hadits yang diriwayatkan oleh Bukhari dalam kitab shahihnya, berupa sabda rasulullah shalallahu’alayhi wasssalam, “Silahkan menyampaikan riwayat dari Bani Isra’il dan (itu) tidaklah mengapa, namun siapa saja yang berdusta atas namaku, maka hendaklah mengambil tempat di neraka,” maka merujuk pada kitab-kitab samawi terdahulu, seperti Taurat dan Injil, diperbolehkan, dengan syarat kemurnian yang mutlak dan tidak ada sedikitpun kedustaan di dalamnya. Untuk masa sekarang, penulisan tarikh dengan bersumber pada kitab-kitab terdahulu tersebut bukanlah hal yang aman untuk dilakukan, mengingat orisinalitasnya yang tak bisa dijamin lagi.

Dalam perkembangannya, saat ini kitab-kitab tarikh karangan ‘ulama besar begitu banyak jumlahnya. Dan disinilah kehati-hatian dalam memilah dan memilihnya, mengingat semakin sulit untuk mengidentifikasi buku tarikh yang bersih dari syubhat-syubhat khawarij maupun syi’ah rafidhah. Pemutarbalikan fakta dalam buku-buku tarikh pun memang demikian banyak dijumpai, khususnya pada buku yang dikarang selain oleh Ahlus Sunnah wal Jama’ah.

Metodologi yang Bersahabat

Penyandaran pada Qur’an dan hadits adalah metode yang paling tepat dalam pemaparan tarikh Islam. Penggunaan hadits memang perlu lebih berhati-hati, memandang pada tahqiq yang ditetapkan atas kualitas hadits tersebut, baik sisi sanad maupun matannya. Baik yang marfu’ maupun mauquf, baik hadits tersebut shahih maupun hasan, tak ada salahnya untuk dijadikan sandaran, dengan tetap mempertahankan objektivitas untuk mengakui dan menyebitkan riwayat yang ada kelemahan didalamnya. Penulisan hadits israiliyyat pun hendaknya dilakukan disertai dengan kritikan yang jelas dan objektif, untuk menerangkan apa yang haq dan sesuai dengan syariat.

Para penulis-penulis besar pendahulu pada umumnya akan menyebutkan hadits maupun atsar lengkap dengan sanadnya. Hal ini dimaksudkan agar pembaca maupun peneliti dapat mengetahui kedudukan sanad tersebut dan mudah mengkritisinya dan selanjutnya lebih berhati-hati jika menemukan nama yang sama dalam riwayat lainnya.

Pemutarbalikan Fakta dan Serangkaian Kepentingan

Sejak kelahirannya belasan abad silam, Islam tak pernah luput dari rongrongan kedengkian kaum kafir dan munafik. Ribuan cara dipakai untuk meruntuhkan peradaban yang mulia dan dimuliakan itu, termasuk dengan pemutarbalikan fakta sejarah yang diharapkan mampu mencitrakan keburukan yang sangat tentang islam dalam pikiran orang-orang yang tidak tahu berikut generasi-generasi selanjutnya, termasuk generasi muda Islam sendiri. Diantara musuh islam itu adalah mereka para Zionisme Yahudi, Syi’ah Rafidhah, Orientalis Nashara, dan orang-orang yang meniti jejak jelek mereka.

Kepentingan mereka mengkaji dan memaparkan tarikh Islam bukanlah untuk mendapatkan keridhaan Allah sebagai ganjaran atas tekad menuntut ilmu, bahkan justru menyulut kemurkaan-Nya. Merekalah sedikit diantara kaum opportunis yang turut mengeruhkan tarikh Islam, dengan mengupas tarikh tersebut tanpa keimanan. Tanpa menghadirkan hati dan jiwa yang bersih. Mungkin apa yang dituliskan sederhana, hanya berupa komentar singkat atas pertikaian yang sempat terjadi di antara para shahabat. Namun, komentar yang tidak fair berikut penilaian yang tidak objektif, berupa ide dan pemikirannya sendiri, maka muncullah penilaian dan kesan negatif terhadap shahabat nabi, misalnya. Atau komentar yang berlebihan tentang ekspansi da’wah islam dulu, yang kemudian mengerucut pada tuduhan islam sebagai agama yang ‘haus darah’, dan lain sebagainya.

Namun demikian, tentu saja semuanya kembali kepada kebersihan hati sang pembaca berikut keilmuan yang dimilikinya. Itulah kenapa, dalam mempelajari tarikh, pun demikian dalam mempelajari ilmu-ilmu lainnya, iman dan ilmu adalah hal yang mutlaq harus ada dan menjadi landasan. Ilmu dan iman sebagai hal yang saling melengkapi yang seharusnya ada dalam diri setiap muslim yang utuh, yang tanpa salah satu dari keduanya, kita tak lebih dari seorang yang buta atau seorang yang pincang. Benar jika dikata tanpa kehadiran keduanya, pembelajaran tarikh hanyalah penelaahan fakta-fakta yang monoton dan hampa dari ruh spriritualitas. Pemaparannya akan jauh dari norma-norma luhur dan akhlak mulia. Berkata tanpa berkaca dan menilai dengan yang tak bernilai pun akhirnya menjadi ciri khasnya. Akibatnya, berbagai rambu syariat dilanggar, validalitas suatu berita tak dihiraukan, dan kehormatan suatu kaum tak lagi diperhatikan.

Semoga Allah selalu memberi petunjuk kita dalam menuntut ilmu dan melindungi kita dari kesesatan dan kejahatan yang ditimbulkan oleh makhluq-Nya. Wallahu a’lam bishshowab.
By : http://www.fimadani.com/kehati-hatian-dan-orisinalitas-tarikh-islam/